Pandeglang, — analisnews.co.id Ketika bumi bergolak dan air bah turun menggulung permukiman di Sumatera dan Aceh, gema kearifan leluhur kembali terasa: bahwa ketabahan adalah lentera yang menuntun manusia melewati gelapnya musibah.
Bencana yang datang tanpa tanda mengingatkan masyarakat bahwa kehidupan selalu bergerak antara karunia dan ujian, namun ketenangan batin tetap menjadi sandaran paling kokoh.
Di tempat-tempat pengungsian, kisah kemanusiaan lahir dari tindakan sederhana. Warga saling menopang, seolah menghidupkan kembali petuah lama nenek moyang tentang pentingnya gotong royong sebagai tali yang menyatukan jiwa-jiwa yang goyah.
Para pemuka agama mengajak korban untuk menata napas, menenangkan pikir, serta mempercayai bahwa setiap cobaan memiliki hikmah yang akan terungkap pada waktunya.
Relawan mencatat banyak keluarga kehilangan rumah, namun keteguhan mereka justru terlihat dalam kemampuan menjaga harapan. Ibadah menjadi ruang perenungan, tempat jiwa kembali menegakkan keberanian.
Dalam setiap doa, terpancar keyakinan bahwa kekuatan sejati bukan berasal dari keadaan yang mudah, melainkan dari kemampuan berdiri kembali setelah diterjang badai.
Pengamat sosial menilai bahwa bencana ini membuka kembali ingatan kolektif tentang ajaran-ajaran kuno: bahwa keselarasan antara manusia dan alam harus dijaga melalui sikap rendah hati, kecermatan bertindak, serta kesediaan mendengar bisikan nurani.
Ketika transportasi lumpuh dan fasilitas publik terganggu, keteduhan hati berubah menjadi sumber energi yang menggerakkan tindakan solidaritas.
Praktik spiritual yang dilakukan dengan penuh kesadaran berperan penting memulihkan luka batin, ibadah yang dijalani dengan tempo perlahan memberikan ruang bagi jiwa untuk meresapi pengalaman pahit tanpa tersesat di dalamnya.
Melalui keheningan itu, muncul keberanian baru untuk melangkah melihat hari esok, dalam situasi penuh tantangan, pesan beribadahlah dengan kesabaranmu menjadi pengingat mendalam bahwa kesabaran bukan sekadar menahan diri, melainkan seni mengelola rasa. Ia adalah warisan nilai yang diajarkan leluhur untuk menjaga ketegaran ketika dunia terlihat goyah.
Melalui kebersamaan, kewaspadaan, dan doa yang dilakukan dengan tulus, masyarakat diyakini mampu membangun kembali kehidupan dengan pijakan yang lebih kuat.
Penulis: Kasman Sang Jurnalis Desa.



Komentar