Toleransi : Keniscayaaan bagi Bangsa Indonesia
Oleh Pujo Utomo (Mahasiswa Pascasarjana UIN Bandung, Prodi KPI)
Mengawali perkuliahan pasca sarjana (S2) mata kuliah komunikasi profetik pada September lalu, guru besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), UIN Bandung, Prof. Dr. H. Asep Saeful Muhtadi, MA, menyampaikan, “Masyarakat yang Islami itu hanya ada saat zaman Rasulullah SAW, dan ciri masyarakat Islami adalah toleransi” kata Profesor.
Pada Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 Oktober, Prof. Ahmad Najib Burhani, M.Sc., peneliti di bidang ilmu sosial, budaya dan kajian agama di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyampaikan ada lima persoalan kultural dalam kaitannya dengan kultur toleransi atau intoleransi itu.
Pertama itu adalah ada perasaan dari sebagian orang yang melakukan tindakan kekerasan, yang melakukan penyerangan terhadap kelompok agama yang lain, atau kelompok yang memiliki keyakinan yang berbeda, mereka itu tidak merasa melakukan tindakan kesalahan, tetapi malah merasa menjadi juru selamat yang akan menyelamatkan mereka dari jalan kesesatannya. Jadi ada messianic tendency, tendency merasa diri sebagai messiah.
Kedua itu adalah false virtue, kebajikan yang salah. Indonesia memiliki beberapa keyakinan-keyakinan atau menganggap ini sebagai kebajikan, tapi ternyata itu sebetulnya kebijakan yang sesat, kebijakan yang salah arah dari tindakan-tindakan.
Ketiga adalah euphemistic narrative of intolerance, narasi euphemistic tentang intoleransi. Jadi ada beberapa kata, misalnya ini kata-katanya bagus, berangkat dari kultur kita. Misalnya di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung. Kata-kata itu kadangkala diartikan penganut agama tidak boleh mendirikan tempat ibadah lebih tinggi daripada kita, jumlah mereka tidak boleh lebih banyak daripada kita, mereka tidak boleh kaya daripada yang mayoritas dan sebagainya. Itu adalah euphemistic naratif tentang intoleransi.
Keempat adalah mental construct conservative, dan yang kelima itu adalah delimited pluralism. Pluralisme itu tidak berlaku kepada semua elemen yang ada di dalam masyarakat kita, tetapi hanya pada elemen-elemen tertentu yang kita setujui. Misalnya ada desa yang disebut dengan desa toleransi, tetapi keyakinan tertentu yang berbeda dari kelompok agama yang dominan di situ, tetap tidak diakui di dalam kelompok, di dalam desa tersebut.
Indonesia sebagai negara pluralisme baik dari sisi keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama, dan juga sebagai negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbanyak di dunia, tentu saja memiliki sikap toleransi yang menjadi suatu keniscayaan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, berdasarkan apa yang disampaikan oleh kedua profesor di atas belum semua masyarakat Indonesia memiliki sikap toleransi, dan kecenderungan intolernasi terjadi karena beda agama, atau sesama pemeluk agama yang memiliki pemahaman atau cara pandang yang berbeda.
Jika merujuk pada beberapa ayat Al Qur’an, terdapat konsep toleransi (tasamuh) yang tersurat di dalamnya walau memang tidak secara gamblang menyebut kata tasamuh atau toleransi. Akan tetapi ayat-ayat tersebut dapat menjadi dasar dalil dari sikap toleransi di dalam Islam. Seperti yang terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 29 :
Wa qulil-ḫaqqu mir rabbikum, fa man syâ’a falyu’miw wa man syâ’a falyakfur, innâ a‘tadnâ lidh-dhâlimîna nâran aḫâtha bihim surâdiquhâ, wa iy yastaghîtsû yughâtsû bimâ’ing kal-muhli yasywil-wujûh, bi’sasy-syarâb, wa sâ’at murtafaqâ
Artinya : “Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Tafsir singkat surat di atas adalah Dan katakanlah wahai Nabi Muhammad, kepada siapa saja bahwa “Kebenaran, yakni Al-Qur’an yang kusampaikan kepadamu itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa di antara kamu yang ingin beriman kepada wahyu yang kusampaikan hendaklah dia beriman, keuntungan dan manfaatnya akan kembali kepada diri mereka sendiri, dan barang siapa di antara kamu yang ingin kafir, menolak kebenaran itu, biarlah dia kafir, kerugian dan mudaratnya akan kembali kepada diri mereka sendiri. Allah menerangkan kerugian yang akan menimpa mereka dengan menyatakan, “Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yakni mereka yang angkuh dan menolak kebenaran yang kusampaikan, yang gejolaknya mengepung mereka dari segala penjuru. Jika mereka meminta pertolongan dari panasnya api neraka itu, mereka akan diberi minum dengan air seperti cairan besi atau minyak yang keruh yang mendidih yang panasnya menghanguskan wajah bila didekatkan kepadanya. Itulah minuman yang paling buruk dan neraka tempat dihidangkan minuman itu adalah tempat istirahat yang paling jelek.
Singkatnya Allah membebaskan manusia untuk menentukan pilihannya, beriman atau tidak beriman. Dan semua ada konsekuensi masing-masing. Soal pilhan keyakinan ini manusia tidak berhak menghakimi manusia lainnya. Itu adalah bentuk dari sikap toleransi yang menghargai dan menghormati pilihan orang lain.
Berkaitan dengan sikap toleransi kepada sebuah bangsa yang pluralisme, Allah dengan gamblang dan tegas menjelaskan dalam Surat Al-Hujurat ayat 13:
Yā ayyuhan-nāsu innā khalaqnākum min żakariw wa unṡā wa ja’alnākum syu’ụbaw wa qabā`ila lita’ārafụ, inna akramakum ‘indallāhi atqākum, innallāha ‘alīmun khabīr
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat 13 surat Al-Hujurat tersebut menegaskan bahwa semua manusia berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Ukuran kemuliaan seseorang bukanlah berasal dari keturunan, melainkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Selain itu menyuruh kepada seluruh umat manusia untuk menghargai perbedaan serta tidak merendahkan seseorang yang dianggap lain, baik asal-usul, jenis kelamin, maupun derajatnya.
Sebab Allah SWT sengaja menciptakan perbedaan antara manusia satu dengan yang lain untuk saling mengenal, belajar, berkembang, dan saling memberi manfaat.
Dengan sikap terbuka dan saling mengenal maka secara prikologi akan tercipta komunikasi yang baik di masyarakat dan akan membangun kedekatan satu dengan lainnya, tidak ada kecurigaan, karena menyadari bahwa perbedaan di antara manusia merupakan salah satu bentuk rahmat dari Allah SWT yang harus disyukuri dan dimanfaatkan demi kemaslahatan bersama.
Bila masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini bisa menerapkan dua ayat di atas efek positif terbesarnya kedamaian akan tercipta di negeri ini. Karena buah toleransi adalah perdamaian. (Tulisan ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Komunikasi).