Oleh : Eva Diana Sari,S.Kom
Di era digital saat ini, fenomena Fear of Missing Out atau FOMO semakin merambah ke berbagai aspek kehidupan. FOMO merujuk pada perasaan cemas atau takut akan ketinggalan sesuatu yang dianggap menarik atau penting, seperti tren, kesempatan, atau pengalaman yang sedang populer. Fenomena ini sering kali dipicu oleh media sosial yang memperlihatkan kehidupan orang lain dengan cara yang idealis dan seringkali tidak sepenuhnya menggambarkan kenyataan. Fenomena FOMO, yang sering kali melibatkan perilaku ikut-ikutan tren, ternyata membawa dampak signifikan terhadap moralitas individu dan masyarakat secara keseluruhan.
FOMO dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan Identitas
Salah satu dampak FOMO yang paling nyata adalah bagaimana hal tersebut memengaruhi pembentukan identitas diri. Di tengah tekanan untuk selalu mengikuti tren terbaru, baik itu dalam hal gaya hidup, fashion, atau opini, individu seringkali merasa terpaksa untuk berperilaku sesuai dengan apa yang populer. Hal ini dapat mengaburkan nilai-nilai pribadi yang sebenarnya mereka yakini, dan membuat mereka lebih fokus pada bagaimana dilihat oleh orang lain daripada bagaimana seharusnya mereka berperilaku secara moral.
Perilaku ikut-ikutan dalam tren ini sering kali menyebabkan seseorang kehilangan keaslian diri mereka. Mereka mungkin lebih memilih untuk mengikuti tren yang tidak sesuai dengan prinsip atau keyakinan mereka, hanya demi mendapatkan pengakuan atau pengikut. Fenomena ini mengurangi kemampuan individu untuk membuat keputusan yang moral, karena keputusan tersebut lebih didorong oleh keinginan untuk diterima oleh kelompok sosial atau komunitas online.
Dampak FOMO terhadap Etika Sosial
FOMO tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga membawa dampak pada etika sosial secara umum. Salah satu contohnya adalah dalam konteks konsumsi barang dan layanan. Dalam dunia yang dipenuhi oleh iklan dan promosi yang terus menerus di media sosial, banyak orang merasa bahwa mereka harus membeli atau memiliki sesuatu agar tidak ketinggalan dari teman-teman mereka. Dalam beberapa kasus, ini mendorong pemborosan, gaya hidup konsumtif, dan bahkan hutang.
Namun, di balik dorongan konsumtif tersebut, sering kali terdapat dilema moral, terutama dalam hal keberlanjutan dan keadilan sosial. Apakah membeli barang atau menggunakan layanan yang hanya populer karena tren benar-benar memberikan manfaat jangka panjang? Apakah kita berpikir tentang dampak sosial atau lingkungan dari pilihan kita? Dalam banyak kasus, perilaku FOMO dapat menyebabkan ketidakharmonisan antara kepentingan pribadi dan tanggung jawab sosial, mengarah pada keputusan yang tidak etis atau tidak bijak.
FOMO dan Ketidakadilan Sosial
Perilaku FOMO juga dapat memperburuk ketidaksetaraan sosial. Tren yang seringkali berhubungan dengan status sosial atau kekayaan dapat menciptakan jurang pemisah antara individu yang mampu mengikuti tren tersebut dan mereka yang tidak mampu. Ketidakmampuan untuk mengikuti tren yang dianggap “harus dimiliki” ini dapat menimbulkan perasaan rendah diri atau bahkan kecemburuan sosial. Dampaknya adalah semakin menguatnya perasaan othering atau pengucilan terhadap kelompok yang dianggap tidak dapat mengakses tren atau gaya hidup tertentu.
Secara moral, ini menciptakan ketidakadilan sosial, di mana nilai atau keberhargaan seseorang lebih diukur dari kemampuan mereka untuk mengikuti standar konsumsi atau gaya hidup yang ditentukan oleh masyarakat. Hal ini bisa menumbuhkan perasaan terasing dan tidak dihargai bagi mereka yang tidak mampu atau memilih untuk tidak ikut dalam tren tersebut.
FOMO dan Krisis Nilai
Di dunia yang dipenuhi dengan informasi dan tren yang cepat berubah, FOMO dapat menyebabkan krisis nilai, di mana individu terjebak dalam siklus mengikuti apa yang sedang populer tanpa mempertimbangkan apakah itu sesuai dengan nilai-nilai moral mereka. Dalam konteks ini, moralitas tidak lagi didasarkan pada prinsip atau pertimbangan yang mendalam, tetapi lebih pada reaksi cepat terhadap apa yang terlihat menarik di media sosial. Hal ini mengarah pada penurunan kesadaran etika dalam masyarakat.
Sebagai contoh, ketika seseorang terlibat dalam tren yang berkaitan dengan perilaku negatif, seperti bullying atau konten yang merugikan orang lain, mereka mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampak negatif dari tindakan mereka. Mereka hanya mengikuti arus sosial demi mendapatkan perhatian atau pengakuan dari kelompok mereka. Ini menunjukkan bagaimana FOMO dapat mempengaruhi keputusan moral, di mana individu lebih memprioritaskan persetujuan sosial daripada pertimbangan etis.
Perilaku FOMO yang dipicu oleh tekanan untuk selalu mengikuti tren tidak hanya memengaruhi identitas dan kebahagiaan individu, tetapi juga berpotensi merusak moralitas dalam masyarakat. Ketika seseorang lebih memilih untuk mengikuti arus tren demi status sosial atau pengakuan, mereka mungkin mengorbankan nilai-nilai pribadi yang lebih penting. Selain itu, fenomena FOMO juga dapat memperburuk ketidakadilan sosial dan memicu perilaku konsumtif yang tidak etis. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk lebih bijaksana dalam membuat keputusan, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap diri sendiri dan orang lain, serta mengutamakan nilai-nilai moral yang berkelanjutan. Sebuah masyarakat yang lebih sadar akan dampak moral dari FOMO akan lebih mampu menciptakan hubungan sosial yang sehat, adil, dan bertanggung jawab.