Post Views: 64
ANALISNEWS.COM, JAKARTA– Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang direncanakan mulai berlaku pada awal tahun 2025 kembali menjadi perhatian publik. Isu ini menjadi pokok bahasan dalam diskusi terbatas para Presiden Mahasiswa yang diadakan oleh BEM Nusantara DKI Jakarta. Diskusi tersebut turut menghadirkan Andreas, Presiden Mahasiswa Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia; Alfonsos, mantan Presiden Mahasiswa Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia; dan Deralio Jose, Anggota Departemen Ekonomi dan Pariwisata BEM Nusantara, sebagai pembicara.
Andreas menjelaskan bahwa PPN adalah pajak yang dikenakan atas transaksi jual-beli barang dan jasa, di mana beban pajak sepenuhnya ditanggung oleh konsumen akhir.
Masyarakat perlu memahami bahwa pajak, termasuk PPN, adalah salah satu sumber pendapatan utama negara untuk membiayai pembangunan dan layanan publik. Namun, kenaikan tarif ini harus dikaji dengan cermat, terutama dampaknya pada daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi, ujarnya. (21/12/2024).
Ia menambahkan bahwa meskipun kenaikan PPN menjadi 12% telah diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pemerintah harus memastikan bahwa implementasinya tidak menambah beban berat bagi masyarakat.
Jika daya beli masyarakat menurun akibat kenaikan harga barang dan jasa, pemasukan negara dari PPN justru berpotensi berkurang. Hal ini juga dapat memengaruhi pengusaha yang barang dan jasanya menjadi kurang laku di pasaran, jelas Andreas.
Mantan Presiden Mahasiswa Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia, Alfonsos, menyoroti pentingnya prinsip keadilan dalam kebijakan perpajakan. “Negara kita adalah negara hukum, dan pajak harus berasaskan keadilan. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan kenaikan PPN ini tidak mencederai keberpihakan kepada rakyat,” tegas Alfonsos.
Sementara itu, Deralio Jose memberikan pandangan terkait dampak strategis kenaikan PPN dari sudut pandang ekonomi makro. Menurutnya, kebijakan ini tidak tepat diterapkan saat ini karena Indonesia masih memiliki rasio pajak (tax ratio) terendah di antara negara-negara ASEAN lainnya. “Daripada meningkatkan tarif pajak, pemerintah seharusnya memprioritaskan peningkatan tax ratio melalui optimalisasi kepatuhan pajak dan perluasan basis pajak. Kenaikan PPN justru akan berdampak negatif pada masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan,” ungkapnya.
Deralio juga menyoroti beberapa konsekuensi negatif yang dapat muncul akibat kenaikan tarif pajak:
Dampak pada Wajib Pajak:
1. Meningkatkan beban keuangan wajib pajak.
2. Mendorong penghindaran pajak.
3. Mengurangi kemampuan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Dampak Ekonomi:
1. Memicu inflasi karena beban pajak ditanggung konsumen.
2. Mengurangi daya beli masyarakat.
3. Memberikan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam diskusi tersebut, para peserta sepakat bahwa sosialisasi yang lebih intensif perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait dampak kebijakan ini. Selain itu, pemerintah diharapkan mempertimbangkan ulang penerapan kenaikan PPN agar tidak menciptakan ketimpangan atau mengurangi kepercayaan masyarakat.
“Pemerintah harus berpihak pada rakyat. Jika kebijakan ini terus dipaksakan, apakah ini bentuk keadilan yang sesungguhnya? Apakah ini menunjukkan keberpihakan kepada rakyat?” tutup Alfonsos, mewakili keresahan publik.
Diskusi ini menghasilkan rekomendasi agar pemerintah mengutamakan dialog dan transparansi dalam pengambilan kebijakan, terutama yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional.