Pendidikan Kolaboratif: Sinergi yang Menghidupkan Jiwa Pesantren
Pendidikan tidak pernah menjadi proyek satu arah. Ia adalah upaya kolektif yang harus dijalankan dengan semangat sinergi antara semua pihak yang terlibat. Di Mahad Al-Zaytun, prinsip ini menjadi ruh utama dalam proses pendidikan, dengan menekankan pentingnya kerja sama antara lembaga, guru, pembimbing asrama, serta orang tua santri. Bagi Al-Zaytun, pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, melainkan proses pembentukan karakter secara menyeluruh yang membutuhkan dukungan dari semua lini.
Rutinitas pertemuan antara santri, wali, guru, dan pembimbing asrama menjadi salah satu bentuk konkret dari upaya membangun keselarasan visi dan persepsi. Dalam forum-forum ini, semua pihak duduk bersama, berdiskusi, menyampaikan harapan dan kendala, serta membangun pemahaman bersama tentang arah dan tujuan pendidikan. Dengan demikian, terciptalah ekosistem pendidikan yang hidup—penuh harmoni, saling melengkapi, dan saling menguatkan demi tumbuh kembangnya santri sebagai manusia paripurna.
Akad Kesefahaman: Ikatan Hukum dalam Bingkai Moral dan Spiritual
Salah satu fondasi utama dalam membangun kolaborasi ini adalah akad kesefahaman yang dilaksanakan saat penerimaan santri baru. Seperti dijelaskan oleh M. Iqbal Aulia, S.Sos., Ketua Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2025, akad ini bukan sekadar dokumen administratif, melainkan pernyataan komitmen yang sakral antara orang tua dan lembaga pendidikan.
Pada Senin, 23 Juni 2025, proses penandatanganan akad kesefahaman berlangsung sebagai tahapan penting dari rangkaian penerimaan santri. Sebelumnya, dilakukan wawancara menyeluruh terhadap calon santri dan orang tuanya, untuk menggali niat, motivasi, dan kesiapan dalam mengikuti pendidikan berasrama. Di sinilah dibicarakan hak dan kewajiban, tata tertib, serta kemungkinan tantangan yang akan dihadapi—semua dibahas terbuka dan penuh kejujuran.
Menariknya, seluruh komitmen ini tidak hanya berakhir di meja diskusi, tetapi dituangkan secara tertulis dan disahkan oleh notaris dalam bentuk waarmeking. Akad ditandatangani oleh salah satu orang tua atau wali santri, dan dari pihak Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) oleh Ketua YPI, Datuk Sir Imam Prawoto, KRSS., MBA., CRBC. Praktik ini telah berlangsung sejak tahun 1999, dengan melibatkan beberapa notaris rekanan seperti Hj. II Rokayah Sulaeman, S.H., Bambang Haryanto, S.H., Doddy Saeful Islam, S.H., hingga Sofyan Syarif Pirsada, S.H.
Akad sebagai Wujud Iman: Bukan Sekadar Hitam di Atas Putih
Lebih dari sekadar perjanjian administratif, akad kesefahaman ini memuat nilai spiritual yang tinggi. Dalam khazanah fikih, akad adalah pertemuan kerelaan dua pihak yang bersepakat untuk berkomitmen. Kaidah fikih menyebutkan, “Al-ashlu fi al-aqdi ridha al-muta’aqidayn wa natijatuhu ma iltizamuhu bi at-ta’aqudi”, yang artinya: “Dasar sebuah akad adalah kerelaan kedua belah pihak, dan hasilnya adalah kewajiban untuk memenuhi apa yang telah disepakati.”
Hal ini senada dengan perintah Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 1:
“Ya ayyuhalladzina amanu, aufuu bil-‘uqud” – Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji kalian.
Ayat ini menjadi dasar moral dan spiritual bahwa setiap komitmen dalam pendidikan harus dijalankan dengan integritas penuh, bukan hanya karena aturan manusia, tetapi karena panggilan keimanan.
Akad ini mengingatkan bahwa pelanggaran terhadap kesepakatan bukan hanya pelanggaran prosedural, tetapi juga refleksi dari kelalaian dalam menunaikan amanah keimanan. Maka dari itu, Mahad Al-Zaytun menempatkan akad ini dalam bingkai spiritual yang agung, sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Epilog: Mendidik sebagai Ibadah, Berjanji sebagai Amanah
Pendidikan di Mahad Al-Zaytun bukanlah sekadar rutinitas belajar-mengajar, tetapi ibadah yang diwujudkan melalui sinergi dan komitmen penuh. Akad kesefahaman menjadi saksi lahirnya niat suci para orang tua dan lembaga dalam menunaikan tugas mulia: mendidik generasi penerus bangsa yang berintegritas.
Tagline abadi Al-Zaytun, “Mendidik dan membangun semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT,” adalah representasi nyata dari ruh pendidikan yang dijalankan. Ketika semua pihak menyatukan langkah—dengan harta, tenaga, pikiran, dan waktu—maka setiap tetes keringat yang tercurah menjadi amal jariyah yang abadi.
Semoga model pendidikan kolaboratif berlandaskan iman ini terus menginspirasi banyak lembaga untuk membangun sistem pendidikan yang utuh, tangguh, dan berorientasi pada ridha Ilahi. Karena dari madrasah kecil bernama keluarga dan lembaga pendidikan, peradaban besar dapat dilahirkan. (Ali Aminulloh)