Oleh Amelia Fitriani, CEO XYZ+ Agency, Anggota Komunitas Puisi Esai, Anggota Creator Club
http://Analis news.co.id, JAKARTA – Saya merasa beruntung diutus oleh penggagas puisi esai, Denny JA, untuk mengikuti http://Festival Puisi Esai Antarbangsa ke-3 di Kota Kinabalu, yang berlangsung dari 7 hingga 9 Juni 2024 lalu. Saya adalah peserta termuda dari rombongan Indonesia dan mungkin yang termuda di antara yang membentangkan paparan di podium festival internasional tersebut.
Tidak sendiri, saya datang bersama lima orang lainnya dari Jakarta: Fatin Hamama, penyair ternama sekaligus Sekjen Komunitas Puisi Esai ASEAN; Agus R. Sarjono, sastrawan kawakan; Jonminofri Nazir, wartawan senior yang juga dosen; Bambang Isti Nugroho, seniman dan aktivis; serta Dr. Yundini Husni Djamaluddin, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK). Kami mewakili Komunitas Puisi Esai Indonesia untuk menghadiri “Festival Kesusasteraan, Kesenian dan Puisi Esei Antarbangsa Sabah ke-3” di Dewan Bahasa dan Pustaka, Cawangan, Sabah.
Meski ada perbedaan huruf antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Malaysia, esensi puisi esai tetap sama. Festival yang diselenggarakan oleh Kementerian Pelancongan Seni dan Budaya Malaysia (MOTAC), Kerajaan Negeri Sabah, BAHASA Sabah, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Cawangan Sabah, serta Komunitas Puisi Esai ASEAN, ini menjadi ajang bertukar pengetahuan dan memperluas wawasan sastra saya.
Festival ini diisi dengan seminar tentang puisi esai, bahasa, dan sastra, serta pertunjukan seni. Saya menikmati pembacaan puisi, teater pendek, dan musik, termasuk teater dari Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) yang menampilkan “Sapu Tangan Fang Yin”. Penampilan mereka sangat memukau, mampu menerjemahkan bahasa puisi ke bahasa panggung dengan baik.
Ratusan peserta dari berbagai latar belakang, profesi, usia, dan kewarganegaraan, termasuk akademisi, budayawan, sastrawan, seniman, dan pelajar, datang dari Indonesia, Brunei, serta berbagai wilayah Malaysia. Keenam delegasi dari Indonesia, termasuk saya, tidak hanya sebagai peserta tetapi juga pembicara. Saya membawakan tema “Pengalaman Penulis Muda Menulis Puisi Esai”.
Saya terkesan melihat puisi esai dibahas oleh sastrawan, budayawan, dan akademisi dari berbagai negara. Akademisi Malaysia, Hasyuda Abadi, membahas perkembangan sastra Sabah dan puisi esai dalam konteks serantau, sementara Fatin Najla Omar dari Malaysia membahas puisi esai sebagai wahana baru dalam sastra Melayu. Sastrawan Brunei, Haji Jawaji Haji Ahmad, mengulas puisi esai di wilayah Borneo.
Saya baru mengenal puisi esai pada 2022, atau 10 tahun setelah buku pertama “Atas Nama Cinta” karya Denny JA diterbitkan. Meski awalnya kontroversial, kini puisi esai diterima luas. Sebagaimana kata Denny JA, puisi esai adalah sekuntum bunga di taman sastra, hadir untuk mewarnai, bukan menggugurkan bunga lain.
Puisi esai kini mendapatkan karpet merah di Sabah, diterima dengan tangan terbuka oleh seniman, akademisi, dan budayawan dari Malaysia dan Brunei. Di Festival Kesusasteraan, Kesenian dan Puisi Esei Antarbangsa Sabah ke-3, puisi esai menjadi topik hangat yang dibahas. Tidak berlebihan jika sastrawan Indonesia Jamal D. Rachman menyebut puisi esai lahir di Jakarta namun ibukotanya adalah Sabah. (Shanty Rd)