Analisnews.co.id, Tasikmalaya, Jawa Barat,- Meskipun sudah ditegaskan dalam sejumlah peraturan dan perundang-undangan tentang larangan tegas ASN, Pejabat BUMD/BUMN, TNI/POLRI, Kepala Desa, Perangkat Desa, sampai BPD untuk tidak terlibat dalam politik praktis yang meliputi ; menjadi tim sukses partai, menjadi tim sukses pasangan calon Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Wali Kota dan Wakil Wali Kota dan Bupati dan Wakil Bupati) menjelang PILKADA serentak tahun 2024 ini, tapi hal tersebut masih tidak membuat gentar sejumlah oknum tersebut diatas yang masih melanggarnya meskipun sanksinya sangat tegas dan bisa masuk ranah pidana.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur daftar pejabat negara yang tidak boleh dilibatkan sebagai pelaksana/tim kampanye pemilu. Hal itu termuat dalam Pasal 280 Ayat (2) dan (3). Dalam daftar itu, tidak ada presiden, menteri, maupun kepala daerah. Pejabat-pejabat negara yang dilarang terlibat sebagai pelaksana/anggota tim kampanye itu meliputi:
a. Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi; b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan c. Gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia; d. Direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan BUMN/BUMD; e. Pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural; f. Aparatur sipil negara (ASN); g. Anggota TNI dan Polri h. Kepala desa; i. Perangkat Desa; dan j. Anggota badan permusyawaratan desa (BPD).
Untuk sanksi bagi Pejabat negara pada huruf a sampai d yang terbukti terlibat sebagai pelaksana/anggota tim kampanye diancam pidana maksimum 2 tahun penjara dan denda Rp 24 juta. Sementara itu, pejabat negara pada huruf f sampai j diancam pidana maksimum 1 tahun penjara dan denda Rp 12 juta. Kepala desa pun bisa dikenakan pidana yang sama bila melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu peserta pemilu. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala dan perangkat desa yang terlibat dalam kampanye juga dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan/tertulis. Hal itu termuat dalam Pasal 29 dan 30 serta 51 dan 52 UU Desa.
Jika sanksi administratif itu tak dilaksanakan, mereka bisa diberhentikan sementara dan dilanjutkan dengan pemberhentian. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Desa tidak mengatur ketentuan maupun sanksi untuk kepala daerah yang terlibat kampanye pemilu. Selain itu, UU Pemilu lewat Pasal 282 dan 283 mengatur bahwa para pejabat negara dilarang berpihak selama masa kampanye atau membuat keputusan/tindakan yang menguntungkan/merugikan salah satu peserta pemilu selama kampanye. Di sisi lain, pejabat negara, struktural, dan fungsional, serta ASN lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Larangan itu meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada ASN dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Masa kampanye Pilkada dimulai per 25 September 2024 dan berakhir pada 23 November 2024. Adapun arti kampanye PILKADA adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Kepala Daerah (Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota). Lebih lanjut, ketentuan mengenai kampanye Pilkada 2024 ini diatur di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 13 tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, yang diundangkan pada 20 September 2024.
Adapun ketentuan mengenai larangan kampanye Pilkada 2024 diatur dalam Bab VIII; dimuat dalam Pasal 57 – Pasal 66 PKPU 13/2014 yang mengatur sejumlah larangan kampanye sebagai berikut;
- Mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945;
- Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon walikota, calon wakil walikota, dan/atau partai politik.
- Melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
- Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat, dan/atau partai politik.
- Mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum.
- Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah.
- Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye.
- Menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah.
- Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan, kecuali perguruan tinggi. dengan syarat dilakukan tanpa atribut kampanye, dilaksanakan dengan izin, dilakukan tanpa mengganggu fungsi pendidikan, diselenggarakan pada hari Sabtu/Minggu, dan dengan metode kampanye pertemuan terbatas atau dialog.
- Melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya; dan/atau
- Melakukan kegiatan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan.
- Menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang terkait dengan jabatan di pemerintahan, yang menguntungkan/ merugikan pasangan calon lain di wilayah kewenangannya di wilayah lain.
- Menggunakan sarana dan prasarana milik pemerintah/ pemerintah daerah.
- Menggunakan sarana dan prasarana yang dibiayai oleh pemerintah pusat (APBN)/ pemerintah daerah (APBD).
- Melibatkan pejabat BUMN/BUMD, ASN, Polisi, Anggota TNI, dan/atau perangkat desa/kelurahan.
- Melakukan kampanye sebelum masa kampanye dimulai, pada masa tenang, atau pada hari pemungutan suara.
- Menempelkan bahan kampanye di tempat umum, seperti rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, tempat pendidikan, tempat ibadah, gedung atau fasilitas milik pemerintah, jalan protokol atau jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, serta taman dan pepohonan.
- Memasang alat peraga kampanye di tempat umum, seperti rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, tempat pendidikan, tempat ibadah, fasilitas tertentu milik pemerintah, dan fasilitas lain yang dapat mengganggu ketertiban.
- Menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lain untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.
- Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik langsung maupun tidak langsung untuk: mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu, dan mempengaruhi untuk memilih atau tidak memilih calon tertentu.
Selain itu, Terkait larangan nagi pejabat BUMD terlibat dalam politik praktis, berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, disebutkan secara tegas larangan bagi pejabat BUMD untuk terlibat dalam kampanye Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2024.
Pasal 70 ayat (1) huruf (a) menyatakan bahwa dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan salah satunya pejabat badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD). Sementara itu, Pasal 189 mengatur ketentuan pidana bagi calon kepala daerah yang dengan sengaja melibatkan pejabat BUMD dalam kampanye. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan, dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Selain itu, Pasal 67 ayat (1) huruf (b) dan huruf (c) menyatakan bahwa anggota direksi BUMD dilarang memangku jabatan rangkap sebagai: (1) Jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau (2) Jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. Pasal 78 juga menegaskan bahwa pegawai BUMD dilarang menjadi pengurus partai politik untuk memperkuat pengawasan dan menjaga netralitas dalam Pilkada 2024.
Namun sejumlah peraturan dan perundang-undangan beserta sejumlah sanksinya diatas masih saja tidak membuat gentar para oknum pelaku yang masih melanggarnya. Seperti yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya, Oknum Dewan Komisaris PT. LKM Pancatengah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya atas nama Basuki Rahmat diduga kuat terlibat dalam politik praktis dengan cara berfoto bersama salah satu calon Bupati Tasikmalaya nomor urut 3 yakni Ade Sugianto dengan memberikan simbol tiga jari. Poto tersebut diketahui dilakukan dirinya pada saat acara pengundian nomor urut calon Bupati dan Wakil Bupati Tasikmalaya pada tanggal 23 September 2024 di gedung serbaguna Islamic Center Kabupaten Tasikmalaya.
Sesampainya pemberitaan ini diterbitkan, tim analisnews.co.id sudah melakukan konfirmasi terhadap Ketua Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya Dodi Juanda melalui pesan singkat Whatsap miliknya dengan nomor 0821185643xx pada hari Sabtu, 05 Oktober 2024 untuk meminta tanggapan darinya. Namun hingga pemberitaan ini diterbitkan, Dodi Juanda tidak pernah menjawab atau membalasnya. Sikap dari Ketua Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya yang tidak merespon awak media saat dimintai tanggapan terkait hal tersebut diatas, patut diduga tutup mata atau adanya main mata serta terkesan adanya pembiaran terhadap oknum Komisaris PT. LKM Pancatengah BUMD milik Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya yang diduga terlibat politik praktis dengan cara memberikan dukungan dengan di poto bersama dengan salah calon Bupati nomor urut 3 sembari mengacungkan tiga jari sebagai simbol nomor urut pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Tasikmalaya.
Selain Ketua Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya Dodi Juanda, Dewan Komisaris PT. LKM Pancatengah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya Basuki Rahmat saat dikonfirmasi oleh awak media ini melalui telepon Whatsap miliknya dengan nomor 081223926xx, yang berhasil didokumentasikan mengatakan jika dirinya melakukan hal tersebut bukan bagian dari kampanye dan merasa hal tersebut biasanya saja dan tidak keberatan.
“Ini mah harus ketemu di darat lah, ya yang adi masalahnya apa? yang dilarang itukan kampanye ya, tidak boleh melibatkan itu ya, dan kampanye itu kan ada definisinya, ada jadwalnya. jadi saya kira itu tidak memenuhi unsur itu, saya juga tahu kampanye itu dimulainya kapan begitu ya, kemudian yang disebut dengan kegiatan kampanye itu seperti apa gitu ya, saya kira itu, jadi keberatannya dimana???“, ungkapnya. (Chandra Foetra S)