Jacob Ereste :
*Pandangan Hidup dan Etos Suku Bangsa Nusantara Penuh Nilai Spiritual Yang Lentur, Dinamis, Estetik Serta Toleran dan Filosofis*
ANALISNEWS.CO.id/DENPASAR BALI. SABTU 2/11/2024
“Serangan Jantung Budaya”, kata Yudi Latif Ph.D tujuh tahun silam saat Indemo merayakan Ulang Tahun ke-17 dan 43 Tahun Peringatan Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari), ia mengungkapkan bahwa mental primordial budaya nusantara mempunyai daya lenting, seluas dan sedalam samudra yang bisa menyerap unsur-unsur budaya luar tanpa mencemari dan melenyapkan jati dirinya.
Yudi Latif berkisah saat pemaparan pandangannya itu di Balai Kartini, Jakarta pada 15 Januari 2017 ketika tahun 1927 pemikir dan sastrawan India paling terkenal Rabindranath Tagore berkunjung ke pulau Jawa dan Bali, ia menemukan bayangan India yang tenteram dalam pangkuan nusantara. Tatkala memandang Candi Borobudur secara keseluruhan, Rabindranath Tagore merasa seperti sedang melihat India. Dan begitu memasuki teras Candi paling bawah, ia terpukau melihat relief-relief Jataka, karena keindahan dan jiwa spiritual yang terpancar dalam obyek pandangannya itu. Sedangkan arkeolog Belanda, FDK Bosch (1946) melukiskan genius Nusantara sebagai kemampuan mengawinkan cerlang budaya luar dengan cerlang budaya lokal yang membentuk suatu kebaruan dan entitas harmonis yang melahirkan tipe peradaban yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Pengaruh India di Nusantara, kata FDK. Bosch bukan melalui kedatangan kesatria dari India, tidak pula tersebar oleh koloni-koloni dagang India, tapi pengaruh India tampak dalam pengadopsian bahasa Sansekerta. Artinya, proses Indianisasi itu ditramisikan melalui ranah intelektual, utamanya dalam domain keagamaan dengan inisiatif para klerikus Nusantara yang menyerap cerlang budaya spiritualitas dari India.
Spiritualitas-ketuhanan adalah jantung budaya nusantara dengan kaum cendekiawan — guru — keagamaan sebagai agen budaya. Dalam versi PJ. Zoetmulder tradisi filsafat yang berkembang dalam mayarakat Indonesia — utamanya terkait dengan filsafat ketuhanan — filsafat nusantara lebih reflektif-introspektif yang mengarahkan kesadaran pada dirinya sendiri. Karenanya, filsafat nusantara lebih menekankan pada laku dibandingkan dengan teori.
Dalam Religion as a Cultural System, pada tahun 1966 Clifford Geertz menandai adanya dua inti keberagamaan — sistem keyakinan dan pandangan dunia — dan ethos (nilai moral, emosi dan motivasi). Intinya, menurut Yudi Latif bahwa segala sesuatu yang ada di dunia bisa dipastikan berpasang-pasangan — yang saling mengidentifikasi, saling melengkapi, saling bergantung yang terpancar dari sumber yang sama — yaitu Tuhan. Pendek kata, dalam.logika primordial suku bangsa nusantara — yang kini telah menjadi Indonesia — segala sesuatu itu bersifat mono-dualisme atau mono-pluralisme. Dalam versi Yakop Sumardjo yang beragam itu Bhinna Ika, semua pada dasarnya dapat dilihat sebagai “satu itu” tunggal Ika. Sehingga keragaman yang saling bergantung merupakan pancaran — iluminasi — dari Yang Esa (Tuhan) yang tidak bergantung pada apapun.
Begitulah etos budaya nusantara bersifat adaptif, gradualistik, estetik dan toleran. Karena memang pada dasarnya perbedaan bukan sesuatu yang harus ditolak selama tidak membahayakan.
Dalam perkembangan pandangan hidup dan etos nusantara tidaklah bergerak di ruang hampa yang kedap pengaruh dari luar. Letak geografis Nusantara yang sangat strategis serta memiliki kekayaan alam yang berlimpah menjadi “jalur persilangan” yang mengundang masuknya beragam peradaban dunia.
Pandangan Arnold Toynbee dalam proses perubahan kebudayaan adanya pengaruh ‘radiasi budaya”. Dimana peradaban itu berlapis-lapis — teknologi, seni, etika dan agama — akan saling meradiasi lapisan budaya lainnya. Karena dia tidak bisa masuk begitu saja secara keseluruhan, tapi merembes dalam lapisan budaya lainnya. Hierarki dan ketangguhannya pun begitu ; teknologi, seni dan etika baru kemudian agama yang terkuat benteng pertahanannya.
Yang menari dari konklusi yang dirumuskan Arnold Toynbee, semakin tinggi teknologi dari sebuah peradaban , maka akan semakin mudah terradiasi lapisan-lapisan budaya lainnya. Dari berbagai faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar 20 peradaban, tidak terlepas dari keterkaitan pada disintegrasi peradaban itu dengan melemahnya proses dari visi spiritual peradaban yang bersangkutan. Dalam kata lain, menurut Yudi Latif, serangan terhadap pandangan dan etos keagamaan di jantung kebudayaan sangat berbahaya, lantaran bis melumpuhkan daya hidup dari peradaban tersebut.
Banten, 1 November 2024