Cimahi,Minggu(03/11/2024)
Dalam labirin zaman yang gemuruh oleh kilau peradaban modern, tersimpan kisah tentang seniman-seniman yang terpinggirkan. Mereka adalah jiwa-jiwa bebas yang menciptakan keindahan dari debu dan nada, melukis harapan di kanvas yang sudah koyak oleh realitas pahit, namun tetap terseok-seok di antara terjalnya roda kehidupan. Mereka bukanlah nama-nama yang terpahat di dinding galeri besar, bukan pula wajah yang kerap menghiasi halaman depan majalah budaya. Mereka adalah pengukir, pelukis, penyair, musisi jalanan—pekerja seni yang bertahan dengan segenggam mimpi dan segunung tekad.
Sebut saja Abah Khaer, seorang Seniman panggung khususnya Karya maestro Mang Koko an asal Kebon Kopi,Kelurahan Cibeureum Kecamatan Cimahi Selatan.Abah Khaer masih berusaha berkarya walaupun usia sudah tidak muda lagi,Abah Khaer dikenal dikalangan seniman khususnya para pengamen yang ada di wilayahnya,bahkan dalam keadaan sakit yang dideritanya,Abah Khaer masih berupaya mengais rejeki dengan cara mengamen,Perjuangan Abah Khaer dari dahulu saat masih muda sampai saat ini bergelut dalam bidang seni suara dengan iringan kecapi Namun,Abah Khaer tetap berada di bawah garis kemiskinan apalagi dengan penyakit yang dideritanya, menyanyikan lagu-lagu karya Mang Koko di bawah bayang-bayang gedung beton raksasa. Keahliannya dianggap sebagai musik jalanan, bukan karya seni berharga yang pantas di tampilkan di sebuah gedung pertunjukan.
Begitu pula dengan Abah Deri atau yang lebih akrab disapa Dalang Deri,seorang Dalang wayang golek yang tinggal di gubuk reyot di pinggir Kampung Cireundeu Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan.Dalam keseharian Abah Deri berjualan Arumanis sejenis jajanan yang terbuat dari gula,Setiap hari Dalang Deri berjalan belasan kilometer untuk menjajakan dagangannya,khususnya di sekolah dasar yang ada di wilayah Cimahi Selatan.Kepiawaian Dalang Deri dalam memainkan Wayang golek sudah teruji saat Pagelaran wayang golek yang diiringi oleh Mahasiswa Institusi Seni Budaya Indonesia(ISBI) Bndunh.Kepiawaian Dalang Deri dalam memainkan wayang golek merupakan perjuangan belajar kepada para Dalang terdahulu.Dalang Deri disamping piawai memainkan Wayang Golek,juga menekuni pembuatan wayang golek,Banyak karya yang dipajang dirumahnya,namun perjalanan Dalang Deri terhenti di dinding ketidakpedulian masyarakat yang lebih memilih seni modern daripada wayang golek yang merupakan seni tradisi masyarakat Sunda.Dalang Deri hanya dikenal oleh segelintir orang khususnya para tetangganya saja,Kemahiran memainkan wayang golek masih terkurung di ceruk ruang-ruang diskusi sempit dan sesaat,belum berhasil menyentuh masyarakat yang lebih luas.
Marginalisasi seniman seperti Abah Khaer dan Dalang Deri tidak semata-mata disebabkan oleh ketidakmampuan mereka berkarya, tetapi lebih pada struktur sosial dan ekonomi yang tidak berpihak pada seni. Kehidupan seniman yang penuh tantangan ini sering kali berbenturan dengan kerasnya kebutuhan hidup. Perhatian pemerintah yang setengah hati terhadap kebijakan seni, minimnya akses ke pasar yang lebih besar, dan stigma bahwa seni adalah hobi tanpa masa depan, membuat mereka terperosok dalam lingkaran ketidakpastian.
Namun, di balik gelapnya nasib mereka, selalu ada titik terang yang berkelip. Solusi atas permasalahan ini tentu bukan sekadar mengharapkan keajaiban dari langit, melainkan sebuah usaha kolektif. Pemerintah, masyarakat, dan seniman itu sendiri perlu saling bergandengan tangan untuk mengangkat seni sebagai napas budaya yang hidup, bukan sekadar pelengkap.
Pertama-tama, kebijakan yang memihak pada seniman harus lebih serius digarap. Pemerintah bisa menciptakan program yang memfasilitasi panggung untuk mereka atau festival seni yang mengikut sertakan mereka.Subsidi dan bantuan modal untuk seniman lokal juga dapat membantu mereka bertahan dan berkembang. Dengan bantuan ini,Abah Khaer tak perlu lagi mengamen demi sesuap nasi begitu pula Dalang Deri tidak harus berjalan kaki belasan kilometer untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi dapat menampilkan karyanya di sebuah panggung yang lebih layak.
Selanjutnya, masyarakat perlu mengubah cara pandang mereka terhadap seni. Pendidikan tentang pentingnya seni dan budaya harus diperkenalkan sejak dini, agar generasi muda tumbuh dengan pemahaman bahwa seni adalah cerminan jiwa bangsa, bukan sekadar hiburan belaka. Jika masyarakat lebih menghargai karya seni, Abah Khaer mungkin tidak lagi menyampaikan karyanya dari pintu ke pintu, tetapi di panggung yang ramai oleh sorakan penggemar Kawih karya Maestro Kecapi Mang Koko.
Tak kalah penting,para seniman itu sendiri harus saling merangkul dalam kolaborasi dan solidaritas. Mereka bisa menciptakan komunitas kreatif yang mendukung satu sama lain, bertukar ide, dan memanfaatkan media sosial sebagai panggung baru. Di dunia digital, batasan geografis dan sosial bisa ditembus, dan suara seniman kecil pun bisa mencapai benua yang jauh.
Meski begitu, usaha ini bukanlah proses yang cepat. Butuh kesabaran, kerja keras, dan mimpi yang tak pernah padam. Namun, seperti tetesan air yang terus-menerus mengikis batu, langkah-langkah kecil ini lama kelamaan dapat menghancurkan tembok ketidakpedulian. Di masa depan, mungkin tak lagi ada seniman yang terpaksa menyanyi dari pintu ke pintu atau berjalan belasan Kilometer menjajakan arumanis. Mereka akan mendapat panggungnya sendiri, tempat di mana karya dan kisah mereka bisa bersinar, menjadi cermin bagi kemanusiaan.
Kehidupan seniman yang masih termarjinalkan adalah sebuah kisah perjuangan melawan angin kencang. Namun, di setiap lantunan lagu dan kepiawaian memainkan wayang golek,masih ada harapan yang mengalir. Seni, pada akhirnya, bukan sekadar pekerjaan; ia adalah cara untuk bertahan hidup, melawan ketidakadilan, dan merayakan kemanusiaan dalam segala keindahan dan kesulitannya.
Achmad Syafei