(Oleh: Diky Kusdian)
Setiap tahun, 9 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia. Peringatan ini mengingatkan kita akan pentingnya meningkatkan kesadaran publik terhadap korupsi dan mendorong semua pihak untuk turut serta dalam memberantasnya. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), korupsi adalah fenomena kompleks yang menyentuh semua aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi dan terjadi di hampir semua negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, korupsi telah ada sejak lama dan berkembang dengan berbagai cara. Saat pandemi, korupsi semakin menggurita karena banyaknya bantuan yang disalurkan, menciptakan celah yang dimanfaatkan oknum untuk berbuat curang. Meski ancaman hukuman berat telah digaungkan, tak sedikit pejabat yang tetap tergiur. Korupsi seolah-olah tak kenal waktu dan situasi.
Jika tidak segera diberantas secara menyeluruh, korupsi akan terus mengakar. Salah satu langkah awal yang perlu diambil adalah mengubah perspektif masyarakat terhadap korupsi. Dengan pandangan yang lebih kritis, kita akan lebih mudah menahan diri dari godaan untuk melakukan tindakan korup.
Ada anggapan bahwa korupsi telah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Benarkah demikian? Meski korupsi tersebar luas, terstruktur, dan berdampak luas, tindakan ini tidak seharusnya dianggap sebagai bagian dari budaya kita. Jika korupsi dianggap budaya, apakah pelakunya akan disebut “budayawan” alih-alih pencuri? Justru, tindakan korupsi adalah tindakan melanggar nilai-nilai luhur yang bertentangan dengan budaya bangsa.
Penasihat antikorupsi Ganjar Laksmana mencatat bahwa banyak pelaku korupsi yang tidak menyadari bahwa tindakannya adalah kejahatan. Dalam banyak kasus, mereka menganggap gratifikasi sebagai tanda “terima kasih” atau “hubungan baik,” yang sebenarnya adalah pola pikir yang perlu diubah.
Korban korupsi adalah masyarakat luas, tanpa terkecuali. Efek dari korupsi menyebar jauh, menghambat pembangunan, meningkatkan kemiskinan, dan merusak kesejahteraan negara. Contoh kasus besar seperti korupsi e-KTP menunjukkan betapa luasnya jaringan yang terlibat 96 orang dalam 28 tahapan di 11 negara. Kasus ini menunjukkan bahwa praktik korupsi kian terorganisir.
Kini saatnya kita bersatu dalam perang melawan korupsi. Edukasi antikorupsi harus ditekankan sejak dini agar tercipta generasi yang menjunjung tinggi integritas dan kejujuran. Hanya dengan menolak korupsi, Indonesia dapat benar-benar bebas dari dampak buruknya dan menuju kesejahteraan yang sejati.