Etnik Jazz, Kedaulatan Air dan Ketahanan Pangan, serta Kesadaran Rural-Urban
Analisnews.co.id | Sebelum menyebar ke kota-kota besar di Amerika pada awal abad 20, jazz lahir dari komunitas yang dihempas kesulitan ekonomi dan sosial masyarakat rural-pedesaan. Ruang refleksi masyarakat agraris yang sehari-hari bekerja di sawah dan ladang. Dan, jazz memperkuat ikatan komunitas, menyatukan individu dalam perayaan dan sarana hiburan setelah penat kerja di sawah.
Ketika bergerak ke wilayah urban, jazz diadaptasi dan dipengaruhi oleh gaya hidup yang lebih dinamis dan kompleks di perkotaan. Menjadi lebih eksperimental, modern, dan berteknologi canggih. Menjadi simbol kebebasan dan inovasi, namun tetap membawa semangat kolektif yang diadopsi dari pedesaan. Semangat ini tampak dari improvisasi yang lantas menjadi elan vital jazz.
Jazz dapat dilihat sebagai metafora bagi kehidupan agraris, di mana petani membutuhkan improvisasi dalam pengelolaan tanam dengan kondisi alam yang berubah-ubah.
Klaten Etno Jazz Sawah memperlihatkan sinergi sektor pertanian dan unsur penting air serta budaya dalam mempertahankan kedaulatan pangan. Dengan kolaborasi yang elok dengan sektor pertanian, jazz dapat menjadi bagian penting dari gerakan budaya yang mendukung keberlanjutan dan ketahanan pangan.
Mengambil bentang alam sub Das Pusur, tepatnya di Umbul Besuki dengan mata air beningnya dan dikelilingi sawah yang menyejukkan mata, Klaten Etno Jazz Sawah dipersembahkan pada hari Minggu, 17 November 2024 mulai pukul 12.00 hingga 17.30 atau selesai sebelum Magrib.
Menampilkan bintang tamu Trie Utami, Vertigong with Silir Wangi, Smara Tantra, Keroncong Jazz Lastarya, Komunitas Jazz Indonesia yang diwakili oleh Pilipe Solo Jazz Activity, Agung Prasetyo (Komunitas Jazz Jogja), Ucok Vippucang (Fjc Surabaya), Musik Air by Memet Chairul Slamet, Gejok Lesung Sekar Melati dan Drumband SDN Ponggok.
Sebuah ekosistem Jazz di Indonesia yang menjadi inisiator Klaten Etno Jazz Sawah menyampaikan bahwa kegiatan ini adalah sebuah ikhtiar menyatukan stakeholder ekonomi kreatif untuk saling bersinergi mengantisipasi terbukanya peluang dengan koneksitas Klaten lewat jalan tol ditengah dua kota yang punya magnet budaya dan wisata luar biasa Yogyakarta dan Solo. “Klaten terkenal lewat Beras Delanggunya. Kami ingin mendorong sinergi antara musik Etno, Jazz dan Sawah”Ujar Agus Setiawan Basuni dari Warta Jazz.
Ajakan ini disambut dengan antusias oleh Juneadhi Mulyono, Lurah Desa Ponggok yang viral lewat wisata airnya. “Kolaborasi menjadi kata kunci ditengah dunia yang akan ini disambut dengan antusias oleh Juneadhi Mulyono, Lurah Desa Ponggok yang viral lewat wisata airnya. “Kolaborasi menjadi kata kunci ditengah dunia yang serba tak menentu. Dengan saling mendukung Wisata dan Pertanian, semoga kegiatan ini bermanfaat untuk masyarakat sekaligus jadi ajang ” ujarnya.
Hal yang sama diamini oleh Yusuf Murdani dari Komunitas Petani Muda Klaten, “Pertanian memiliki pola yang mirip dimana improvisasi harus kerap dilakukan manakala menghadapi cuaca, pasar atau teknologi maka Petani harus mampu beradaptasi”, ucapnya.
Bentuk adaptasi ini didukung pula oleh Daniel Timbul, seorang artpreneur asli Klaten dari Seroja Indonesia, yang menggali dan mengembangkan potensi desa lewat kelas artistiknya yang menjadi bagian dari Road to Klaten Etno Jazz Sawah. “Kami ingin potensi yang ada di manfaatkan dan dimaksimalkan. Dengan penggunaan material yang terabaikan dan ramah lingkungan melahirkan karya-karya artistik berbasis sumberdaya lokal”.
Sementara Rama Zakaria, menyampaikan dukungan AQUA Klaten soal perlunya integrasi pengelolaan bentang alam sub DAS Pusur, dimana Klaten Etno Jazz Sawah akan mengambil setting lokasi acara. ”Mengelola sumber daya air erat kaitannya dengan Kedaulatan Pangan, pendekatan kami secara ekosistem agar sumber air ini tetap lestari”.
Acara ini merupakan kolaborasi WartaJazz, Komunitas Petani Muda Klaten, Desa Wisata Ponggok, Seroja Indonesia, bersama AQUA.
Turut didukung oleh Pemerintah Kabupaten Klaten, Lestarilah Indonesia dan Grand Tjokro Hotel.
HTM sebesar IDR. 20.000,- sudah termasuk fasilitas berenang di Umbul Besuki & merchandise beras bisa didapatkan dengan melakukan pemesanan melalui link s.id/etnojazz.
PROFIL SEKILAS PENAMPIL KLATEN ETNO JAZZ SAWAH
TRIE UTAMI
Trie Utami merupakan penyanyi dan komposer yang dikenal sebagai vokalis grup jazz legendaris, Krakatau. Berkarier hampir empat dekade di berbagai genre musik dengan menghasilkan sejumlah lagu hit seperti “Kau Datang” dan “Nurlela” membuat wania berdarah Sunda ini salah satu musisi berpengaruh di Indonesia. Ia aktif dalam berbagai kegiatan dan diskusi keberlanjutan terkait Kedaulatan Pangan dan bersama Sound of Borobudurnya ia menggali khasanah musik yang tergambar pada relief Candi Borobudur, sebuah mega perpustakaan yang menggambarkan bukti kebesaran peradaban leluhur bangsa Indonesia yang telah mendunia pada masanya.
VERTIGONG WITH SILIR WANGI
Vertigong adalah kelompok music besutan Purwanto yang dikenal sebagai personil pada kelompok Kua Etnika dan Sinten Remen. Ia menggandeng pemusik-pemusik muda seperti, Paulus Neo Prasetyo (piano), Mohamad Farigh Dewanto (bass) dan Dimas Suryo Kencono (drum) untuk melakukan eksplorasi musik tradisional jawa dalam bingkai music jazz.
Paulus Neo Prasetyo, cah klaten yang selain menjadi ‘otak’ Vertigong – band yang membawanya tour Eropa Agustus lalu tampil disejumlah festival bergengsi seperti Nisvile Jazz Festival Serbia, Petrovac Jazz Festival Montenegro, Bansko Jazz Festival Bulgaria, Gotse Dhelcev Festival Bulgaria, Amersfoort World Jazz Festival Belanda. Ia juga memberi workshop di Faculty of Art Nis Serbia.
Di Klaten Etno Jazz Sawah 2024 ini Vertigong mengajak pula pesinden Silir Wangi seorang vokalis utama di Kuaetnika dan orkes keroncong Sinten Remen yang merupakan eksplorer vocal etnis terbaik yang dimiliki Indonesia. Kemampuan dan pengalamannya mengolah vocal baik untuk orkestra, pop, film sampai musik yang bercorak avantgarde, memuluskan langkahnya melanglang buana kebanyak panggung Internasional. Melihat Silir adalah melihat keindahan vokalia yg secara teknis sanggup melampaui batas definisi pemahaman vocal itu sendiri.
SMARA TANTRA
Konsisten menggali idiom-idiom musik tradisi dari berbagai daerah di nusantara, band yang berdiri sejak 2015 ini terdiri dari Bayu (gitar), Mukhlis (keyboard), Pamuji (bass), Rachonza (drum), Komang (suling Bali), dan Tanto (Keyboard + Sequencer). Sama-sama menempuh pendidikan di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Smara Tantra akan mengajak penonton Klaten Etno Jazz Fiesta bertamasya keliling Nusantara.
MEMET CHAIRUL SLAMET
Pemusik kelahiran Bangkalan, Madura ini, sejak kecil akrab dengan gamelan dan suling bambu. Bakat musiknya ditempa di Jurusan Musik Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Di kampus ini, ia belajar komposisi music pada Yoesbar Djaelani dan Dieter Mack. Ia juga pernah berguru kepada Rahayu Supanggah, Slamet Abdul Syukur dan Suka Hardjana. Ia menampilkan karya perdananya berupa ensambel string dan tiup kayu di Festival IKI, Surakarta. Memet banyak menaruh perhatian pada alat musik tradisional nusantara sebagai basis penciptaan karya. Pada tahun 2004, Memet mendirikan Gangsadewa Ethnic Ensemble yang menggarap karya musik eksperimental yang ditampilkan di berbagai perhelatan music di dalam dan luar negeri.
KERONCONG JAZZ LASTARYA
Kesamaan proses akulturasi pada Latin Jazz dan Keroncong, yaitu mengadaptasi idiom kesenian tradisi setempat pada alat musik barat dalam hal ini alat musik jazz combo menjadi “akar pijakan” eksplorasi ansamble Lastarya Keroncong Jazz. Beranggotakan Harly Yoga (akustik bass), Dhara lastarya (vocal), Andra Fahreza (cuk & gitar), Erik Chandra (cak & keyboard), Gutryan Purba (Flute & Saxophone) serta Anggrian Hidha (drums & percussion) mengadaptasi gramatika musik tradisi Nusantara dengan pendekatan interplay yang menembus batas-batas konservatif***
Red : Dd/Yd