ANALISNEWS.COM, JAKARTA– Sekretaris Jenderal Sai Nusa Sai Ina, Reinnel Lailossa, mengkritik tajam mekanisme pemberian penghargaan keterbukaan informasi publik yang diterima sejumlah lembaga di akhir tahun ini. Menurutnya, penilaian yang dilakukan oleh lembaga kepada sesama lembaga, baik di tingkat nasional maupun daerah, tidak mencerminkan esensi utama dari keterbukaan informasi, yakni melibatkan publik sebagai penilai utama.
Keterbukaan informasi itu adalah hak publik. Kalau penghargaan diberikan hanya berdasarkan penilaian sesama lembaga, di mana suara masyarakat sebagai pengguna informasi? Hal ini justru kontradiktif dengan prinsip dasar keterbukaan informasi publik yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008, tegas Lailossa dalam pernyataannya, Kamis (20/12/2024).
Menurut Lailossa, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengawasi dan menilai badan publik. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 3, keterbukaan informasi bertujuan untuk menjamin hak masyarakat mengetahui kebijakan publik, serta meningkatkan partisipasi mereka dalam proses pengambilan keputusan.
“Publik adalah penerima manfaat utama dari keterbukaan informasi. Jadi, mereka yang seharusnya menilai tingkat keterbukaan informasi badan publik, bukan lembaga lain yang mungkin punya relasi tertentu dengan badan publik tersebut,” tegas Lailossa.
Ia juga menyoroti potensi bias institusional dalam penilaian semacam ini. “Ketika lembaga saling menilai, objektivitasnya dipertanyakan. Ini bisa jadi hanya seremonial tanpa benar-benar mencerminkan kepuasan publik terhadap akses informasi yang disediakan,” lanjutnya.
Dari perspektif ilmiah, Lailossa menegaskan bahwa parameter utama dalam menilai keterbukaan informasi adalah tingkat kepuasan masyarakat sebagai pengguna informasi. “Banyak kajian menunjukkan bahwa kepuasan publik adalah indikator kunci dalam menilai layanan informasi. Jika masyarakat merasa hak mereka atas informasi belum terpenuhi, bagaimana bisa sebuah badan publik layak mendapatkan penghargaan?” ujarnya.
Selain itu, Lailossa menyampaikan keresahannya dan kawan-kawan terkait pengalaman mereka selama ini sebagai aktivis. Ia menyoroti betapa sulitnya mengakses informasi resmi dari badan publik, terutama yang berkaitan dengan kinerja, kebijakan, dan pengelolaan anggaran.
“Sebagai aktivis, kami sering berusaha mendapatkan data untuk menyoroti kebijakan atau transparansi pengelolaan anggaran badan publik. Namun, akses terhadap informasi ini sangat sulit. Banyak badan publik yang tidak menyediakan data penting secara resmi atau tidak mempublikasikannya di situs web mereka, padahal itu adalah kewajiban sesuai UU KIP,” ungkapnya.
Menurutnya, kondisi tersebut bertolak belakang dengan citra keterbukaan yang ingin dibangun melalui penghargaan-penghargaan tersebut. “Bagaimana bisa kita bicara keterbukaan, jika untuk mendapatkan data dasar saja publik harus menempuh berbagai hambatan administratif? Hal ini hanya menunjukkan lemahnya implementasi UU KIP,” tegas Lailossa.
Sebagai rekomendasi, Lailossa mendorong mekanisme penilaian yang lebih partisipatif dan berbasis data. Publik harus dilibatkan melalui survei kepuasan atau forum konsultasi. Ia juga mengusulkan agar Komisi Informasi berperan sebagai fasilitator independen untuk memastikan proses penilaian berjalan transparan dan akuntabel.
“Penilaian keterbukaan informasi tidak boleh menjadi sekadar formalitas tahunan. Ini soal tanggung jawab kepada masyarakat. Jika kita serius ingin mendorong keterbukaan dan akuntabilitas, maka libatkan lah publik secara langsung,” pungkasnya.
Kritik ini menjadi pengingat bahwa keterbukaan informasi bukan hanya soal administrasi atau penghargaan, tetapi juga tentang mewujudkan pemerintahan yang transparan dan melibatkan masyarakat dalam setiap prosesnya.