Bangka Barat, KBO Babel Kawasan hutan mangrove yang seharusnya menjadi paru-paru bumi kini menghadapi kerusakan parah di Dusun Terabek, Kabupaten Bangka Barat. Kerusakan ini disebabkan oleh aktivitas puluhan ponton isap produksi (PIP) atau tambang inkonvensional (TI) apung ilegal yang beroperasi di kawasan perairan tersebut tanpa memedulikan dampak lingkungan maupun hukum yang berlaku. Jumat (27/12/2024).
Mangrove yang dilindungi oleh pemerintah kini menjadi korban eksploitasi liar. Para penambang ilegal ini, yang seolah tak peduli dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), terus mengeruk sumber daya tanpa mengindahkan konsekuensi kerusakan ekosistem perairan dan hutan.
Menurut informasi yang dihimpun oleh jejaring media KBO Babel, aktivitas PIP ilegal ini diduga dikoordinir oleh sejumlah pihak yang memiliki jaringan kuat. Salah satunya adalah individu berinisial IW, yang akrab disapa “IW Bocel.” IW disebut sebagai koordinator utama operasi TI apung di kawasan Terabek. Bahkan,beberapa yang lalu IW diketahui sempat mengklaim telah melakukan koordinasi dengan Polres Bangka Barat terkait aktivitas PIP Ti apung di luar Surat Perintah Kerja (SPK) PT Timah.
Selain IW, nama lain seperti “SN,” yang dikenal sebagai anak buah seorang preman bernama Hercules, juga diduga terlibat dalam mengkoordinasi operasi ilegal ini.
Hasil tambang dari aktivitas PIP tersebut dikabarkan ditampung oleh cukong timah berinisial AJ dan AT.
Kedua nama ini bukanlah pendatang baru di dunia tambang ilegal, melainkan pemain lama yang diduga memiliki hubungan erat dengan oknum aparat penegak hukum (APH), organisasi masyarakat, hingga wartawan.
“Siapa yang berani menangkap IW dan SN? Nek mati ngelawan e (mau mati kalau ada yang berani melawan mereka). Mereka dibekingi bos besar timah dan preman,” ungkap seorang sumber berinisial M kepada jejaring media KBO Babel, Jumat (27/12/2024).
Kerusakan yang Mengkhawatirkan
Saat ini, tercatat sekitar 50 unit ponton ilegal beroperasi di perairan Dusun Terabek dan Desa Belo, Kabupaten Bangka Barat.
Aktivitas ini telah merusak kawasan perairan yang dipenuhi pohon mangrove, yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem laut.
Kerusakan ini tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati tetapi juga mengganggu keseimbangan lingkungan yang berdampak pada masyarakat sekitar.
Sanksi Hukum yang Mengintai
Mengacu pada Pasal 162 UU Minerba, setiap orang yang menghalangi atau mengganggu kegiatan penambangan sesuai izin dapat dipidana penjara hingga satu tahun atau denda maksimal Rp100 juta.
Selain itu, Pasal 98 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengancam pelaku perusakan lingkungan dengan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar.
Namun, hingga kini, upaya penegakan hukum terhadap para pelaku tambang ilegal di kawasan mangrove Terabek masih terlihat lemah.
Dugaan adanya pihak yang membekingi aktivitas ilegal ini menjadi tantangan utama dalam menegakkan aturan.
Panggilan untuk Aparat Penegak Hukum
Jejaring media KBO Babel&analisnews.co.id terus berupaya mendapatkan konfirmasi dari berbagai pihak, termasuk Polres Bangka Barat, Polda Kepulauan Bangka Belitung, dan Gakkum KLHK.
Publik mendesak jawaban konkret: kapan penindakan tegas akan dilakukan terhadap para pelaku perusakan lingkungan? Apakah benar para koordinator dan penampung pasir timah ilegal ini kebal terhadap hukum?
Kerusakan mangrove Terabek menjadi simbol nyata lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Penanganan kasus ini harus menjadi prioritas agar kawasan mangrove dan ekosistem perairan dapat diselamatkan sebelum terlambat.
Apakah keadilan mampu menembus jaringan kuat yang melindungi kejahatan lingkungan ini? Waktu yang akan menjawab.Analisnews.co.id
Penulis:tim red
Editor:M.Jhon kanedy