Kasus dugaan hilangnya alat kesehatan (alkes) bantuan COVID-19 dari pemerintah pusat; Presiden Jokowi, BNPD, dan mitra di RSUP Dr (HC) Ir. Soekarno Bangka Belitung bukan sekadar isu administratif, tetapi menjadi sorotan yang mempertaruhkan kepercayaan publik terhadap lembaga layanan kesehatan.
Laporan dari LSM TOPAN-RI Babel membuka diskursus penting tentang pengelolaan aset negara, tanggung jawab pimpinan lembaga, dan implikasi hukum atas kelalaian dalam menjaga fasilitas vital ini.
Ketua TOPAN-RI Babel, Muhamad Zen, telah mengajukan permohonan informasi publik yang mencakup rincian jenis, jumlah, dan sumber alkes yang diterima selama pandemi. Meskipun pihak RSUP menjawab permohonan tersebut dengan data yang ada, respons dari Direktur RSUP, dr. Ira Ajeng Astried, dinilai lamban dan tidak transparan.
Dalam pertemuan langsung, dr. Ira mengklaim bahwa tidak ada laporan kehilangan alkes hingga saat ini, tetapi berjanji untuk melakukan investigasi lebih lanjut.
Namun, janji investigasi tersebut justru diiringi dengan arahan yang membingungkan publik. Saat dimintai keterangan lebih lanjut, dr. Ira mengarahkan wartawan untuk mengonfirmasi kepada Kepala Bagian Hukum RSUP.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa seorang direktur utama enggan memberikan klarifikasi yang komprehensif terkait aset negara yang menjadi tanggung jawabnya?
Analisis Hukum dan Potensi Pelanggaran
Hilangnya atau penyalahgunaan alkes bantuan pemerintah memiliki implikasi hukum yang serius. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 61 ayat (1) menyatakan bahwa pengguna barang milik negara wajib menjaga dan mengamankan barang tersebut.
Kelalaian dalam melaksanakan kewajiban ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif maupun pidana.
Lebih lanjut, Pasal 97 ayat (1) undang-undang yang sama mengatur bahwa tindakan yang menyebabkan kerugian negara dapat dikenai sanksi pidana berupa denda hingga hukuman penjara.
Dalam konteks dugaan ini, jika terbukti ada upaya pembiaran atau penyalahgunaan alkes, maka pihak terkait juga berpotensi melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Pasal ini mengatur bahwa perbuatan yang merugikan keuangan negara akibat penyalahgunaan kewenangan dapat dihukum penjara maksimal 20 tahun.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah menegaskan pentingnya pengelolaan barang negara secara transparan dan akuntabel.
Jika terbukti ada upaya menghindari tanggung jawab atau mengalihkan permasalahan kepada pihak lain tanpa dasar yang jelas, maka tindakan tersebut dapat dianggap melanggar prinsip-prinsip pengelolaan aset negara yang diamanatkan oleh undang-undang.
Kritik terhadap Sikap Manajemen RSUP
Sikap Direktur RSUP yang mengarahkan wartawan ke bagian hukum alih-alih memberikan penjelasan langsung mencerminkan ketidakmampuan dalam mengelola isu publik yang sensitif.
Bagian hukum tidak memiliki otoritas atau data langsung terkait pengelolaan aset negara. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa ada upaya menghindari tanggung jawab atau menutupi informasi tertentu.
Dalam struktur organisasi RSUP, terdapat Kepala Bidang Aset yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan pencatatan sarana dan prasarana.
Mengabaikan peran Kabid Aset dalam kasus ini menunjukkan lemahnya koordinasi internal manajemen RSUP. Jika benar tidak ada aset yang hilang, seharusnya pihak RSUP mampu memberikan klarifikasi yang cepat, akurat, dan komprehensif tanpa perlu melempar tanggung jawab.
Dampak terhadap Kepercayaan Publik
Kasus ini menjadi ujian besar bagi RSUP Dr (HC) Ir. Soekarno dalam menjaga integritas dan kredibilitasnya sebagai lembaga publik. Keberadaan alat kesehatan selama pandemi COVID-19 adalah bentuk perlindungan hak dasar masyarakat atas kesehatan.
Dugaan hilangnya aset negara tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga mencoreng citra lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberikan layanan kesehatan.
Transparansi adalah kunci utama dalam menyelesaikan polemik ini. RSUP harus segera menyampaikan hasil investigasi yang independen dan objektif kepada publik.
Jika benar ada aset yang hilang, langkah hukum harus diambil terhadap pihak yang bertanggung jawab. Sebaliknya, jika tidak ada pelanggaran, klarifikasi yang cepat dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Rekomendasi Langkah Selanjutnya
1. Audit Independen: RSUP perlu melibatkan auditor independen untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap pengelolaan alkes bantuan COVID-19. Audit ini harus mencakup verifikasi data, pengecekan fisik, dan analisis proses pengelolaan aset.
2. Peningkatan Sistem Pengelolaan Aset: Manajemen RSUP harus segera memperbaiki sistem pengelolaan aset dengan menggunakan teknologi yang memungkinkan pencatatan dan pelacakan secara real-time. Sistem ini juga harus terintegrasi dengan lembaga pengawas seperti Inspektorat dan Badan Keuangan Daerah.
3. Transparansi dan Komunikasi Publik: RSUP harus membuka jalur komunikasi yang transparan dengan publik, termasuk memberikan akses informasi yang relevan melalui mekanisme keterbukaan informasi publik. Hal ini dapat mengurangi spekulasi dan menjaga kredibilitas lembaga.
4. Sanksi bagi Pelanggar: Jika hasil investigasi menemukan pelanggaran, langkah tegas harus diambil terhadap individu yang bertanggung jawab, baik melalui sanksi administratif maupun pidana.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan aset negara bukan hanya tanggung jawab administratif tetapi juga moral. RSUP Dr (HC) Ir. Soekarno memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kepercayaan masyarakat dengan menunjukkan transparansi dan akuntabilitas dalam menangani dugaan ini. Publik menanti langkah konkret dari manajemen untuk menyelesaikan persoalan ini dengan adil dan transparan.Analisnews.co.id
Penulis:Mung Harsannto,SE
Editor:M.Jhon kanedy