JAKARTA, Analis News – Sidang lanjutan perkara No.39/Pid.B/2025/PN.Jkt.Utr terkait dugaan penipuan dan penggelapan uang dengan terdakwa Jevon Varian Gideon kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Senin (24/3/2025).
Dalam sidang tersebut, tim kuasa hukum Jevon mengajukan Nota Pembelaan (Pleidoi) yang menegaskan bahwa klien mereka tidak bersalah dan meminta majelis hakim memberikan putusan bebas.
Namun, jalannya persidangan memicu tanda tanya besar. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Erma Octora tidak menghadirkan terdakwa dengan alasan efisiensi anggaran. Padahal, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, JPU tetap menghadirkan terdakwa dalam persidangan. Keputusan ini menimbulkan dugaan bahwa ada ketidaktransparanan dalam proses hukum yang dijalankan.
Publik pun mempertanyakan, apakah langkah JPU ini merupakan upaya mengaburkan perkara? Terdakwa Jevon sebenarnya memiliki hak untuk menyampaikan pleidoinya secara langsung di hadapan majelis hakim. Namun, dengan tidak dihadirkannya Jevon, hak tersebut seolah dikebiri.
Pleidoi: Jevon Harus Dibebaskan Karena Tidak Terbukti Bersalah
Dalam pleidoinya, tim kuasa hukum dari AJR & Co. Advocates & Legal Consultant menegaskan bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa Jevon terlibat dalam tindak pidana penipuan dan penggelapan sebagaimana didakwakan oleh JPU. Oleh karena itu, mereka mendesak agar majelis hakim segera membebaskan Jevon dan memulihkan hak-haknya.
Berikut enam poin utama dalam pleidoi yang diajukan kuasa hukum Jevon:
1. Menerima Nota Pembelaan yang diajukan oleh terdakwa dan penasihat hukumnya secara keseluruhan.
2. Menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP tentang Penipuan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
3. Membebaskan terdakwa dari seluruh tuntutan hukum (vrijspraak) atau setidaknya melepaskannya dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging).
4. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk segera membebaskan Jevon dari rumah tahanan setelah putusan dibacakan.
5. Memulihkan hak-hak terdakwa, termasuk kedudukan, nama baik, harkat, dan martabatnya.
6. Membebankan biaya perkara kepada negara.
Kasus Jevon: Perdata atau Pidana?
Dalam pembelaannya, kuasa hukum menyampaikan bahwa Jevon hanya berperan sebagai perantara dalam transaksi yang kini dipermasalahkan. Tidak ada niat jahat atau unsur kesengajaan yang bisa menjeratnya secara pidana.
Kasus ini berawal dari sebuah perjanjian jasa hukum (PJH) terkait dana fee jasa hukum sebesar Rp 300 juta untuk pengurusan gugatan perkara hukum PT.HAL di Pengadilan Negeri Jambi dan Pengadilan Negeri Sengeti.
Kuasa hukum menegaskan bahwa Jevon telah menyerahkan dana tersebut kepada pihak lain (Agie Gama Ignatius rekan Moses Tarigan) atas arahan seseorang (Dodiet Wiraatmaja Direktur Utama PT.HAL) yang disebut dalam persidangan. Oleh karena itu, tidak ada bukti untuk menuduh bahwa Jevon menggelapkan uang PT.HAL. Selain itu, tidak ditemukan bukti bahwa Jevon menggunakan uang tersebut untuk kepentingan pribadinya.
Lebih lanjut, tim pembela menilai perkara ini lebih masuk dalam ranah sengketa perdata ketimbang pidana.
Putusan Hakim Dinantikan, Akankah Ada Kejutan?
Kasus ini menjadi sorotan publik karena perkara perdata digiring menjadi perkara pidana dan hanyabJevon yang diproses hukum padahal perkara ini melibatkan pelaku lainnya sebagaimana terungkap dalam fakta persidangan.
Keputusan majelis hakim dalam perkara ini sangat menentukan profesionalisme hakim.
Jika hakim menerima pleidoi, maka hakim profesional dan tidak menyalah gunakan wewenang dan kekuasaan Jevon pun akan segera dibebaskan dan namanya direhabilitasi. Namun, jika hakim menolak, maka patut dicurigai hakim telah menerima sesuatu.
Sidang putusan dijadwalkan berlangsung pada Senin (8/4/2025). Publik kini menanti apakah hakim akan memihak pada dalil pembelaan atau justru tetap mengikuti tuntutan JPU yang dinilai penuh kejanggalan. Akankah keadilan benar-benar ditegakkan? Atau justru muncul tanda tanya baru di balik putusan nanti.
WARTAWAN: Sutarno