analisnews.co.id – Rembang || Suasana Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Sabtu (05/04/2025), dipenuhi semangat kebersamaan, kebudayaan, dan perlawanan ekologis dalam gelaran Kupatan Kendeng 2025. Ratusan warga dari berbagai daerah yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) tumpah ruah mengikuti kegiatan tahunan ini. Di tahun ini, Kupatan Kendeng mengusung tema penuh makna: “Urip Urup Kanggo Bumi”, yang menjadi refleksi sekaligus pernyataan sikap atas situasi krisis lingkungan dan demokrasi di Indonesia.
Rangkaian acara diawali dari Lapangan Desa Tegaldowo dengan arak-arakan kupat (ketupat), simbol pengakuan salah (ngaku lepat) sekaligus tekad untuk memperbaiki hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam. Uniknya, arak-arakan tahun ini dimeriahkan dengan kesenian barongsai dan barongan khas Blora, yang menambah semarak suasana dan menarik perhatian warga, tua-muda, untuk ikut serta dalam pawai budaya tersebut.
Rute arak-arakan mengelilingi jalan-jalan utama Desa Tegaldowo, menyapa warga yang antusias menonton di tepi jalan. Arak-arakan ini bukan hanya ritual budaya, namun menjadi simbol gotong royong dan semangat kolektif warga dalam merawat nilai-nilai lokal sekaligus memperjuangkan kelestarian Pegunungan Kendeng.
Kepala Desa Tegaldowo, Kundari, S.E., secara resmi melepas rombongan arak-arakan. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan apresiasi terhadap partisipasi masyarakat dan semangat yang dibawa dalam kegiatan ini.
“Semoga kegiatan ini berjalan lancar dan menjadi manfaat bagi masyarakat. Adat, budaya, dan kelestarian alam adalah warisan yang harus kita jaga. Harapan saya, anak cucu kita bisa merasakan dan melanjutkan jejak perjuangan ini, agar bumi tetap lestari,” ungkap Kundari penuh harap.
Setelah arak-arakan kembali ke lapangan desa, acara dilanjutkan dengan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama setempat. Doa menjadi simbol spiritualitas masyarakat dalam merawat hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam. Momen tersebut kemudian ditutup dengan makan bersama atau kenduri rakyat, sebagai wujud syukur dan kebersamaan.
Kupatan Kendeng tahun ini juga menjadi momen penting bagi konsolidasi lintas komunitas pejuang lingkungan di Jawa Tengah. Hadir dalam kegiatan ini perwakilan dari daerah-daerah yang masih berjuang seperti Pracimantoro (Wonogiri), Pati, Blora, Rembang sendiri, serta jaringan pendukung seperti LBH Semarang, YLBHI, JATAM, Trend Asia, Taring Padi, hingga aktivis senior seperti Dandhy Laksono.
Diskusi rembuk kampung digelar untuk berbagi cerita perjuangan, strategi advokasi, serta saling memperkuat semangat antarwilayah. Wilayah Wonogiri menjadi sorotan karena ancaman ekspansi tambang dan pabrik semen yang membahayakan kawasan bentang alam karst (KBAK) Gunungsewu. Sementara itu, di Rembang dan kawasan Kendeng, kebijakan tata ruang yang membuka lebar aktivitas pertambangan memperlihatkan ancaman nyata terhadap kelestarian lingkungan.
Tema “Urip Urup Kanggo Bumi” mengandung pesan mendalam. Ini adalah ajakan untuk terus menjadi “nyala” yang tak padam di tengah gelapnya demokrasi dan kebijakan yang mengabaikan hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Berbagai kebijakan nasional seperti revisi UU TNI, UU Minerba, UU KPK, hingga Omnibus Law, dinilai telah mencabut partisipasi rakyat dan justru mempercepat kerusakan lingkungan. Ironisnya, meski produksi semen di Indonesia sudah mengalami overproduksi sejak 2024, pemerintah tetap memberikan konsesi baru tambang dan pabrik semen tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi lingkungan dan masa depan pangan nasional.
Padahal, jika moratorium tambang benar-benar dilakukan, Indonesia bisa melangkah lebih jauh dalam menciptakan kedaulatan pangan. Jawa Tengah, sebagai lumbung pangan nasional, memiliki potensi besar menjaga ketahanan pangan apabila alamnya tidak dikorbankan demi kepentingan industri ekstraktif.
Kupatan Kendeng 2025 menjadi lebih dari sekadar seremoni budaya. Ia adalah suara rakyat kecil yang memilih bersuara, bergerak, dan merawat bumi daripada tunduk pada kekuasaan yang abai. Ia adalah simbol bahwa perlawanan tak harus marah, tetapi bisa lewat doa, budaya, dan kebersamaan.
Kupatan bukan hanya soal ketupat, tetapi tentang niat tulus menjaga bumi agar tetap menjadi rumah yang nyaman bagi generasi mendatang.(Aji)