Analisnews.co.id | “Kita bikin musik yang kita suka. Soal terkenal, urusan nanti.” Tegas Lanlan Strangers, seorang musisi yang baru saja merilis debut album solonya. Bagi Lanlan Strangers, kalimat itu bukan sekadar nostalgia. Ia adalah gema dari semangat remaja yang menolak tunduk pada kalkulasi industri dan pasar, pada masa ketika musik adalah letupan jiwa, bukan sekadar konten. Bersama Strangers (kemudian dikenal sebagai STRNGRS), ia menapaki awal milenium dengan gitar, lirik, dan keyakinan naif namun jujur. Bahwa musik bisa menyelamatkan dunia, atau setidaknya, menyelamatkan diri sendiri.
Kini, dua dekade setelahnya, IDIOFON hadir membawa Resurrecting Strangers, sebuah album debut yang secara sadar dan pelan-pelan membangkitkan kembali bara itu. Bukan dengan teriakan, tapi dengan gumam panjang yang dalam dan sadar usia. Dirilis pada Jumat kedua pasca-Ramadhan 1446 H, album ini bukan sekadar karya solo. Ia adalah bentuk kontemplasi, semacam elegi untuk masa lalu, sekaligus ajakan untuk tidak menyerah pada keraguan hari ini.
Seluruh lagu dalam Resurrecting Strangers ditulis, diaransemen, dan diproduksi oleh Lanlan bersama istrinya, Tiana Marie Ennamorati, dari sebuah studio mungil di kamar tidur mereka di Tangerang Selatan. Proses yang tidak hanya menunjukkan kemandirian teknis, tapi juga keintiman kreatif yang jarang ditemui hari ini. Mixing dan mastering dilakukan oleh Gio Guidi di Opera Studio, dengan pengecualian satu lagu berjudul Hindsight 20/20, yang Lanlan tangani sendiri—sebuah pilihan yang jujur dan berani, mirip dengan semangat awal STRNGRS.
“Ada lagu-lagu dalam album ini yang saya dedikasikan secara personal, dua di antaranya untuk mereka yang telah memberi warna dalam hidup saya: Salvador untuk Pratiwi Juliani, dan The Director untuk almarhum Richard Oh—sebuah lagu yang seperti doa yang dinyanyikan dalam sunyi. Satu lagu lainnya, Let Things be Things, ditulis bersama anak saya, Safa Kilau Arabella,” ungkap Lanlan.
Mungkin inilah bentuk paling jujur dari regenerasi musikal: bukan warisan megah, tapi momen kecil yang tumbuh bersama di antara nada dan kata.
Bukan Panggung, Tapi Layar Bioskop.
Sejak merilis Hindsight 20/20 di akhir 2020, IDIOFON tidak pernah menjanjikan penampilan live di atas panggung. Musiknya adalah lanskap sunyi, ruang-ruang refleksi, dan cocok untuk didengarkan sambil memandangi hujan dari balik jendela atau menulis catatan harian yang tak pernah rampung.
Lanlan sendiri menyebut karyanya lebih cocok jadi soundtrack film. Memang terasa begitu adanya. Lagu-lagu dalam IDIOFON seperti montase perasaan yang menyentuh tanpa harus menjelaskan secara gamblang. Mereka tidak memaksa, tapi pelan-pelan merayap, mengisi ruang batin yang kita sendiri tak tahu sedang kosong.
Sebagai musisi yang besar di skena indie Bandung awal 2000-an, Lanlan telah menulis semua lagu untuk STRNGRS, memainkan bass untuk The Milo, compromised EGO, hingga menjadi bassist tambahan NOAH. Tapi IDIOFON jadi perjalanan dan cerita lain. Ini bukan soal band, bukan pula soal panggung megah atau nominasi penghargaan. Ini tentang bertahan. Tentang bagaimana seorang bapak-bapak yang sudah tak punya waktu nongkrong bisa tetap jujur pada hasrat bermusiknya.
Melalui IDIOFON, Lanlan tidak sedang berusaha kembali muda. Ia justru merayakan kedewasaan dengan produksi karya yang lebih kontemplatif, lirik yang lahir dari percakapan lintas ruang dan waktu bersama istrinya, dan aransemen yang lebih mengutamakan emosi ketimbang eksibisi.
Resurrecting Strangers adalah suara-suara yang berhasil bertahan melewati zaman, yang tidak mengemis eksistensi, tapi justru menjadi pengingat bahwa kejujuran musikal tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya tertidur, menunggu waktu untuk dibangkitkan kembali. Masukkan Resurrecting Strangers ke dalam playlist Anda. Kini tersedia di berbagai platform musik digital***(DD/YD)