AnalisNews – Sumbawa Besar|NTB,– PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), anak usaha dari PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), mencatat lonjakan laba bersih hingga 300% pada semester I tahun 2024. Namun, di balik kesuksesan finansial yang mencengangkan ini, tersimpan kegelisahan dan kekecewaan masyarakat lokal, khususnya di sekitar lingkar tambang Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat.
Berdasarkan laporan keuangan terbaru per 30 Juni 2024, laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk mencapai US$ 475,24 juta (sekitar Rp 7,79 triliun), melonjak drastis dari US$ 118,80 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan laba ini didorong oleh peningkatan penjualan bersih tembaga dan emas masing-masing sebesar US$ 769,6 juta dan US$ 779,01 juta, dengan total penjualan mencapai US$ 1,54 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan semester I tahun 2023 yang hanya US$ 580,52 juta.
Presiden Direktur AMMN, Alexander Ramlie, menyebut tahun ini sebagai puncak performa tertinggi sejak akuisisi Batu Hijau. Operasi ini telah memecahkan berbagai rekor produksi dan mencapai tingkat produktivitas penambangan terbaik berkat dedikasi tim yang kuat,.
Namun, pernyataan ini justru memantik kritik tajam dari aktivis dan tokoh masyarakat Sumbawa. , SYAOKIN FUTTAQIN Humas Presidium Integritas Transformasi Kebijakan (ITK) Sumbawa, menyampaikan bahwa keberhasilan tersebut belum memberikan dampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat lokal.
“Ini prestasi luar biasa bagi negara, tapi sangat disayangkan, keuntungan triliunan rupiah itu tidak sebanding dengan kewajiban moral dan sosial perusahaan kepada masyarakat lingkar tambang dan lokal secara umum,” ujar Syaokin, pada media ini, Sabtu (26/4/2025).
Ia menyoroti bahwa meski proyek pembangunan smelter sedang berjalan besar-besaran, masyarakat lokal justru kesulitan mendapatkan akses kerja. Subkontraktor proyek smelter seperti PT Pengembangan Industri Logam (PIL), yang merupakan perusahaan di bawah kendali investor asal Tiongkok, disebut hampir seluruhnya mengisi posisi dari level terbawah hingga jajaran pejabat dengan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina.
“Tenaga kerja lokal dipersulit, bahkan diduga harus mengeluarkan uang untuk bisa masuk kerja. Ini diskriminatif dan sangat tidak adil bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengan tambang,” tega Syaokin yang juga dikenal sebagai aktivis lingkungan dan pertambangan.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat lingkar tambang di wilayah Benete pun disebut masih memprihatinkan. Syaokin menyebut, hingga kini warga masih sering mengalami pemadaman listrik bergilir, kesulitan air bersih, dan infrastruktur jalan yang belum memadai.
“Kalau perusahaan bisa meraih untung triliunan, kenapa masyarakat sekitar masih hidup dalam kesulitan? Bukankah kehadiran perusahaan tambang seharusnya membawa kesejahteraan?” tukasnya.
Tak hanya itu, Syaokin juga mendorong agar AMNT tidak hanya mengandalkan Dana Bagi Hasil (DBH) yang merupakan kewajiban perusahaan berdasarkan regulasi, tapi juga mempertimbangkan pemberian saham kepada pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi daerah terhadap keberlanjutan operasi tambang.
“Masyarakat Sumbawa hanya kebagian kulitnya saja. Keuntungan besar ini hanya menguntungkan kelompok tertentu. Bagi masyarakat lokal, kehadiran AMNT justru lebih banyak membawa mudarat,” cetusnya dengan nada kecewa.
Dengan total aset mencapai US$ 10,27 miliar, kas dan setara kas US$ 1,33 miliar, serta total liabilitas US$ 5,2 miliar, AMMN kini menjadi salah satu pemain utama di sektor pertambangan nasional. Namun, catatan-catatan sosial yang dilayangkan para aktivis menjadi pengingat penting: kesuksesan finansial seharusnya juga diiringi oleh tanggung jawab sosial yang nyata dan berkeadilan bagi masyarakat lokal. (An)