Sumbawa Besar|NTB (2 Mei 2025),– Kebijakan pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) jagung sebesar Rp5.500 per kilogram dinilai hanya menjadi ilusi bagi para petani di Kabupaten Sumbawa. Pasalnya, harga tersebut tak pernah benar-benar dirasakan di tingkat petani akibat ketentuan kadar air yang dinilai tidak realistis serta belum optimalnya peran Bulog dalam menyerap hasil panen.
Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Masyarakat Peduli anggaran Nusa Tenggara Barat ( LSM Gempar NTB) dalam pernyataan resminya kepada media, Kamis (2/5/2025).
“Bagi kami, harga Rp5.500 itu hanya angka di atas kertas. Petani sangat jarang bisa mencapai kadar air 14 persen seperti yang disyaratkan. Rata-rata jagung petani hanya mencapai kadar air 17 persen, itu pun sudah dianggap baik. Kalau kadar air terus ditekan, maka harga tinggi itu hanya akan menjadi mimpi,” tegas Ketua LSM Gempar NTB.
Ia menyoroti bahwa masalah harga jagung selalu menjadi polemik tahunan yang tak kunjung menemukan solusi. Kebijakan HPP, menurutnya, tidak berpihak pada realitas lapangan. Bahkan, sejumlah pengusaha kini mulai menyesuaikan standar pembelian mengikuti aturan tersebut, yakni dengan kadar air minimal 15 persen, namun harga yang ditawarkan justru lebih rendah, hanya Rp4.500 per kilogram.
“Di semua gudang besar di Kabupaten Sumbawa saat ini, harga pembelian jagung hanya Rp4.500 dengan standar kadar air minimal 15 persen. Petani makin terjepit. Ketika kami mendorong kenaikan harga, justru yang terjadi kadar air semakin ditekan. Ini sama saja menyesatkan petani,” ujarnya.
Kondisi ini semakin diperparah dengan belum adanya penyerapan jagung oleh Bulog. Menurut informasi yang diterima, alasan klasik yang disampaikan Bulog adalah belum tersedia gudang penyimpanan. Sementara itu, petani terus memanen dan butuh saluran distribusi yang jelas dan berpihak.
“Pemerintah tetapkan harga tinggi tapi tidak disertai kesiapan sistem. Bulog tidak menyerap, pengusaha menekan kadar air, dan akhirnya petani tidak punya pilihan selain menjual dengan harga rendah. Potongan karena kadar air terlalu besar, dan kebijakan ini tidak berdampak positif apa pun bagi petani,” tegasnya lagi.
Salah satu petani jagung di Kecamatan Moyo Hilir, turut mengeluhkan kondisi ini. Ia menyebut, pada musim panen kali ini, dirinya hanya bisa menjual jagung seharga Rp4.300 per kilogram karena kadar airnya dianggap terlalu tinggi.
“Padahal kami sudah jemur dua hari. Tapi tetap saja kadar air dianggap tinggi. Harga terus ditekan, biaya produksi kami tidak tertutup,” keluhnya.
Menurut data yang dihimpun LSM Gempar NTB, lebih dari 60% petani jagung di Kabupaten Sumbawa terancam merugi pada musim panen 2025 ini. Biaya produksi per hektare mencapai Rp12 juta, sementara hasil panen rata-rata hanya sekitar 5 ton per hektare. Dengan harga jual Rp4.500/kg, petani hanya memperoleh Rp22,5 juta, belum termasuk potongan akibat kadar air.
Atas situasi tersebut, LSM Gempar NTB mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa bersama DPRD setempat untuk segera mengevaluasi kembali kebijakan kadar air dalam penetapan harga jagung. Menurutnya, kadar air 17 persen merupakan angka paling realistis yang bisa dicapai petani di lapangan dan seharusnya dijadikan standar minimal.
“Kami akan terus mengawal isu ini. Jangan biarkan petani terus jadi korban kebijakan yang tidak berpijak pada realitas lapangan. Kembalikan standar kadar air ke 17 persen agar harga yang ditetapkan bisa benar-benar dirasakan petani,” pungkasnya.
LSM Gempar NTB juga membuka ruang dialog bersama pemerintah dan stakeholder terkait untuk mencari solusi bersama demi kesejahteraan petani jagung di Sumbawa. Jika tidak ada langkah nyata dalam waktu dekat, mereka siap menggelar aksi sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang dialami para petani. (Red)