Indramayu – Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional 2025, Mahad Al-Zaytun menyelenggarakan Simposium Nasional selama tiga hari berturut-turut, mulai 30 April hingga 2 Mei 2025. Simposium ini mengusung tema “Membangun Ekosistem Pendidikan yang Tidak Terputus Menuju Indonesia Emas 2045”, dengan menghadirkan sejumlah guru besar dan pakar dari berbagai bidang keilmuan.

Syaykh Panji Gumilang: Pancasila Harus Diimani
Simposium dibuka oleh Syaykh Al-Zaytun, Dr. Abdussalam R. Panji Gumilang, M.P., yang menekankan pentingnya kembali pada nilai-nilai dasar bangsa, yakni Pancasila. Menurut beliau, Pancasila tidak cukup hanya dihafal atau dibahas, tetapi harus diimani — diyakini dan diwujudkan dalam sikap hidup sehari-hari masyarakat Indonesia.
Ilmu dan Akhlak: Dua Sayap Kemajuan

Hari pertama simposium menyoroti pentingnya kecerdasan intelektual dan spiritual. Prof. Yohanes Surya, Ph.D., menjelaskan pentingnya penguatan pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) sebagai fondasi untuk mencetak generasi cerdas dan siap bersaing secara global. Sementara itu, Prof. Dr. Imam Suprayogo menekankan pentingnya moral dan akhlak. “Ilmu tanpa akhlak akan membawa bencana. Di Al-Zaytun, keduanya dibangun bersama, bukan saling meniadakan,” ujarnya.
Pendidikan yang Terhubung dari Sabang sampai Merauke

Pada hari kedua, Prof. Dr. Imron Arifin, M.Pd., memaparkan pentingnya membangun ekosistem pendidikan yang menyeluruh dan tidak terputus. Ia menyebutkan bahwa konsep ini telah dijalankan di Al-Zaytun, dan jika diterapkan secara nasional, bisa menjadi solusi untuk pemerataan pendidikan dari desa hingga kota, dari barat hingga timur Indonesia.
Karakter Anak Bangsa Dimulai Sejak Dini

Masih di hari yang sama, Prof. Dr. Ciek Julyati Hisam, M.M., M.Si., menyampaikan bahwa pendidikan karakter harus dimulai sejak usia dini. “Anak-anak bukan sekadar belajar membaca atau berhitung, tapi juga harus dibentuk jiwanya, sikapnya, dan integritasnya sejak awal,” tegasnya.
Relevansi Pendidikan Ki Hajar Dewantara di Era Modern

Hari ketiga menghadirkan Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd., dari Perguruan Taman Siswa, Yogyakarta. Ia mengangkat nilai-nilai pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menurutnya tetap relevan hingga saat ini. Konsep “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” dinilai sebagai fondasi kuat dalam mencetak generasi mandiri dan berjiwa kepemimpinan.
Revolusi Pendidikan Dimulai dari Guru
Sebagai penutup, Syaykh Panji Gumilang kembali menegaskan bahwa revolusi pendidikan harus dimulai dari guru. “Metode itu penting, materi itu perlu, tapi guru adalah kunci utamanya. Maka, kita butuh pendidikan guru yang berkelanjutan untuk menjamin pemerataan pendidikan yang berkualitas,” jelasnya.
Tutor PKBM Al-Zaytun Ikut Ambil Peran
Simposium ini juga dihadiri oleh 19 tutor dari PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) Al-Zaytun, sebagai wujud kesetaraan antara jalur pendidikan formal dan non-formal. Koordinator Tutor, Hartono, S.Pd., menyampaikan bahwa para tutor sangat antusias mengikuti simposium ini sebagai bekal memperkuat pendidikan kesetaraan. “Kami ingin memastikan bahwa pendidikan non-formal juga berkualitas dan setara dengan jalur formal,” katanya.

Lebih dari 3.000 peserta hadir dalam simposium ini, termasuk guru, dosen, mahasiswa, wali santri, hingga pengelola berbagai unit pendukung di lingkungan kampus Al-Zaytun. Simposium ini menjadi ruang penting untuk berdiskusi, menyusun strategi, dan meneguhkan komitmen bersama dalam membangun ekosistem pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan demi menyongsong Indonesia Emas 2045.
(Ali Aminulloh)