Example 728x250
Terkini

Ini Kata Anak Agung Sugiantiningsih, Menurutnya Pendidikan Saat Ini Kehilangan Arah Luntur Nilai Juang Luntur Identitas

170
×

Ini Kata Anak Agung Sugiantiningsih, Menurutnya Pendidikan Saat Ini Kehilangan Arah Luntur Nilai Juang Luntur Identitas

Sebarkan artikel ini

Ini Kata Anak Agung Putu Sugiantiningsih, Menurutnya Pendidikan Saat Ini Kehilangan Arah Luntur Nilai Juang Luntur Identitas

 

Analisnews.co.id-DENPASAR | HUT Pendidikan Nasional 2 Mei 2025 untuk mengenang kelahiran Ki Hadjar Dewantara, sosok pelopor pendidikan di Indonesia, yang lahir pada 2 Mei 1889.

Ki Hadjar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan bukan hanya untuk mencerdaskan otak, tetapi juga membentuk karakter, menumbuhkan rasa nasionalisme, dan memperkokoh kepribadian bangsa.

Bila kita ingat kembali kisah Ki Hajar Dewantara, beliau memiliki Latar belakang yang dilarang bersekolah di masa kolonial. Makna keberanian beliau membangun Taman Siswa untuk mendidik rakyat kecil, dimana pendidikan di Indonesia dibangun dengan perjuangan, bukan hadiah. Dan Pendidikan itu adalah hasil dari sebuah perjuangan.

Kutip semangat Ki Hadjar: “Pendidikan harus memerdekakan manusia lahir dan batin.” Semboyannya yang terkenal: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” yang berarti: di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberikan dorongan, menjadi dasar filosofi pendidikan kita.

Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar seremonial, melainkan refleksi atas bagaimana pendidikan menjadi pondasi kemajuan bangsa.

Salah satu tokoh dari Bali, Dr. Anak Agung Putu Sugiantiningsih .,S.IP.,M.AP.,( Akademisi Universitas Warmadewa) mengatakan, sejarah Hari Pendidikan Nasional & Perjuangan Tokoh-Tokoh Pendidikan Indonesia. Sebelum Perang Kemerdekaan, pada masa penjajahan Belanda, pendidikan di Indonesia sangat diskriminatif.

Hanya golongan tertentu terutama bangsawan dan keturunan Eropa yang boleh bersekolah. Rakyat pribumi mayoritas hidup dalam kebodohan yang sengaja dibiarkan. Tokoh-tokoh penting: Ki Hadjar Dewantara (Raden Mas Suwardi Suryaningrat) Pendiri Taman Siswa tahun 1922 di Yogyakarta. Dewi Sartika. Mendirikan Sekolah Isteri di Bandung pada 1904 (sekarang “Sakola Kautamaan Istri”). Memperjuangkan pendidikan bagi perempuan pribumi agar setara dengan laki-laki, ujarnya.

Lebih lanjut terangnya, KH Ahmad Dahlan, mendirikan Muhammadiyah (1912) lembaga pendidikan dan sosial berbasis Islam. Mendorong pendidikan modern, menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum. KH Hasyim Asy’ari, mendirikan Nahdlatul Ulama (1926), mengembangkan pesantren sebagai pusat pendidikan karakter berbasis nilai-nilai keislaman.

Oleh sebab itu, saat Perang Kemerdekaan (1945–1949). Perang mempertahankan kemerdekaan membawa tantangan luar biasa. Bangsa ini baru merdeka, tapi harus langsung menghadapi agresi militer Belanda. Perjuangan dalam bidang pendidikan: Pendidikan darurat: Banyak sekolah di daerah konflik harus pindah ke lokasi-lokasi darurat, atau digabungkan dalam “sekolah rakyat” seadanya.

Setelah Perang Kemerdekaan (1950 ke atas). Dan kedaulatan diakui, tantangan pendidikan bergeser, dari mempertahankan kemerdekaan ke membangun bangsa.

Kebijakan penting, Pemerintah mengeluarkan UU Pendidikan Nasional pertama. Didirikannya banyak universitas negeri: Universitas Indonesia (1950) Universitas Gadjah Mada (1949) Institut Teknologi Bandung (1959, berkembang dari Technische Hoogeschool). Tokoh-tokoh penting: Ki Sarino Mangunpranoto, Menteri Pendidikan era 1950-an. Menekankan pentingnya pendidikan karakter dan moral bangsa. Prof. Dr. Sutomo, memperjuangkan pendidikan berbasis nasionalisme pasca-kemerdekaan. Prof. Dr. Sutan Takdir Alisjahbana, mendorong modernisasi pendidikan dan kesusastraan Indonesia.

Pergeseran paradigma, Pendidikan menjadi alat pembangunan nasional. Mencetak SDM ” Sumber Daya Manusia ” untuk mengisi kemerdekaan.

Oleh karena itu, semangat bela negara tidak lagi dalam bentuk fisik mengangkat senjata, tetapi dalam bentuk membangun peradaban, ilmu pengetahuan, teknologi, moralitas.

Kenapa 2 Mei Dipilih sebagai Hari Pendidikan Nasional? Ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI No. 316 Tahun 1959. Karena 2 Mei adalah hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara, yang dianggap sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Hari ini diperingati bukan sekadar seremoni, tetapi sebagai momen refleksi: Apakah kita masih setia kepada cita-cita pendidikan nasional Apakah pendidikan kita masih memerdekakan manusia?

Realitas dunia pendidikan kita menghadirkan kegelisahan. Banyak peserta didik lebih mengejar prestasi akademik semata, tanpa membangun karakter luhur. Fenomena cheating, intoleransi, perilaku konsumtif, dan individualisme kian merebak di kalangan pelajar dan mahasiswa. Media sosial menjadi ladang subur bagi budaya instan, popularitas semu, dan kadang mengikis nilai kejujuran serta kerja keras. Bahkan, di kalangan insan cendekia yang sejatinya menjadi garda terdepan moralitas bangsa terjadi degradasi nilai. Kita menyaksikan sebagian akademisi terjebak dalam kasus plagiarisme, korupsi akademik, bahkan jual beli gelar.

Budaya menyontek dianggap biasa. Banyak mahasiswa dan pelajar mengejar popularitas, melupakan etika. Fenomena intoleransi, bullying di sekolah, korupsi intelektual. Bila kita Kaitkan dengan kehidupan: “Mungkin kita pernah tergoda ikut-ikutan. Tapi sadarkah kita, setiap kali kita berkompromi dengan kejujuran, kita sedang menggerogoti masa depan bangsa kita sendiri?” Keynote: “Generasi hebat bukan hanya pintar, tapi bermoral.”

Jika tren ini tidak dibenahi, masa depan bangsa akan menghadapi tantangan berat: Lahirnya generasi tanpa daya juang, tanpa integritas, yang mudah menyerah terhadap tekanan globalisasi. Hancurnya nilai gotong royong, persatuan, dan nasionalisme yang dahulu diperjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata oleh para pahlawan bangsa. Cita-cita kemerdekaan untuk membangun bangsa yang adil, makmur, dan beradab bisa menjadi impian kosong. Sejarah mencatat: bangsa-bangsa besar runtuh bukan hanya karena kekalahan militer, tapi karena kemerosotan moral generasinya.

Bangsa kita bisa menjadi lemah jika generasinya tidak berkarakter. Sejarah dunia membuktikan: Bangsa besar hancur bukan karena musuh dari luar, tapi karena kemerosotan moral dari dalam.: “Bayangkan, andai para pahlawan seperti Soekarno, Kartini, Cut Nyak Dhien, menyaksikan kondisi kita hari ini… Apa yang akan mereka rasakan? Apakah mereka akan bangga?”. Kemerdekaan bisa hilang tanpa perlu penjajahan fisik, cukup dengan lunturnya nilai bangsa. Kunci: Membangun rasa tanggung jawab moral dan nasionalisme.

Mengembalikan pendidikan kepada esensinya: mencerdaskan kehidupan bangsa secara utuh intelektual, emosional, dan spiritual. Menanamkan nilai-nilai integritas, kejujuran, tanggung jawab, cinta tanah air, dan solidaritas sejak dini di dunia pendidikan. Menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari, karena pendidikan karakter tidak hanya diajarkan, tetapi juga dicontohkan.

Tantangan dalam Menjaga Nilai-Nilai Karakter,Globalisasi dan Westernisasi, budaya asing masuk tanpa filter, gaya hidup instan, individualisme, materialisme makin kuat mempengaruhi generasi muda, nilai seperti gotong-royong, rasa hormat kepada orang tua dan guru mulai luntur. Disrupsi Teknologi: Informasi begitu deras dan liar melalui internet, media social, literasi digital rendah membuat generasi muda rentan terhadap hoaks, radikalisme, ujaran kebencian, letergantungan pada teknologi menurunkan kecakapan sosial, empati, dan adab dalam kehidupan nyata, krisis Teladan, ligur publik dan elit kadang justru memberi contoh buruk: korupsi, manipulasi, hedonism, anak muda kehilangan sosok panutan sejati dalam kehidupan sosial dan politik.

Saat ini, tantangan nyata dalam menjaga empat consensus dasar bangsa adalah: Radikalisme dan Separatisme. Ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila terus menyusup, baik secara ideologis maupun kultural, ada gerakan yang ingin memecah belah NKRI, mengaburkan rasa persatuan.

Lebih mengkhawatirkan lagi, Ego Sektoral dan Fanatisme Sempit, fanatisme terhadap golongan, suku, atau agama tertentu tanpa toleransi terhadap keberagaman, Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi slogan, tidak lagi menjadi semangat hidup, manipulasi Konstitusi. Ketidakpatuhan pada semangat UUD 1945, terutama dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi, demokrasi lebih banyak dipandang sebagai perebutan kekuasaan, bukan musyawarah untuk kebaikan bersama, tuturnya.

Kemerdekaan dianggap sebagai hak biasa, banyak generasi muda lahir dalam kemerdekaan tanpa merasakan pahit getir perjuangan. Akibatnya, semangat juang bergeser dari semangat pengorbanan menjadi semangat “kenyamanan”. Diantaranya dilakukan pragmatisme dan hedonism, orientasi hidup lebih kepada materi, popularitas instan, dan kenikmatan jangka pendek, semangat kerja keras, pengorbanan, dan perjuangan dianggap ketinggalan zaman.
Kurang penghargaan terhadap simbol-simbol negara, pahlawan nasional, dan sejarah perjuangan bangsa.

Dr. Anak Agung Putu Sugiantiningsih kembali mengingatkan, bahwa tradisi dan adat istiadat mulai ditinggalkan karena dianggap kuno dan tidak modern. Bahasa daerah, kesenian tradisional, nilai luhur lokal hampir punah di sebagian besar daerah.

Liberalisasi Gaya Hidup, kebebasan tanpa batas diadopsi dari budaya luar. Gaya hidup bebas tanpa mengindahkan norma agama dan social, menurunnya rasa hormat kepada orang tua, guru, dan tokoh adat, krisis Spiritualitas, agama hanya menjadi formalitas, bukan pedoman moral., agama dijadikan alat politik atau pembenaran kepentingan, bukan untuk membangun akhlak mulia. “Jika nilai karakter runtuh, maka empat konsensus bangsa akan goyah.

Jika adat, budaya, dan agama ketimuran hilang, maka jati diri bangsa ini akan lenyap.” Generasi muda hari ini bukan hanya berperan mempertahankan negara secara fisik, tetapi juga mempertahankan ruh bangsa: karakter, moralitas, dan identitas, tegasnya.

Kenapa kita tidak mencontoh dari keberhasilan semua negara maju, seperti Jepang, Jerman, Korea Selatan membuktikan: kebangkitan nasional mereka dimulai dari pendidikan.

Pendidikan melahirkan: ilmuwan, pemimpin, pengusaha, pejuang sosial, inovator. Tanpa pendidikan, kita hanya akan menjadi bangsa yang tertinggal, terjajah, dan tergantung kepada bangsa lain. “Bangsa yang buta ilmu akan menjadi bangsa yang diperbudak.” Pendidikan Memastikan Keberlanjutan Semangat Kemerdekaan. Generasi muda hari ini tidak lagi bertempur melawan penjajah bersenjata, tapi bertempur melawan: kebodohan, kemiskinan, kesenjangan, intoleransi, korupsi moral.

Lanjutnya, pendidikan adalah perisai untuk melawan penjajahan bentuk baru: penjajahan budaya, penjajahan teknologi. “Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan pikiran, jiwa, dan karakter.”

Pendidikan Melestarikan Nilai Budaya, Agama, dan Identitas Nasional. Melalui pendidikan, nilai luhur bangsa Indonesia seperti: gotong royong, toleransi, rasa hormat, ketakwaan, nasionalisme diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. tanpa pendidikan yang berbasis budaya dan agama, identitas bangsa akan luntur dan akhirnya hilang. “Pendidikan adalah benteng terakhir bangsa agar tidak kehilangan jati dirinya.” Pendidikan Menjadi Sarana Membela Negara di Era Modern. Di zaman ini, bela negara bukan hanya mengangkat senjata.

A A Putu Sugiantiningsih menyoroti generasi muda, yang seharusnya menjadi jembatan, bukan sekat, mengutamakan dialog, toleransi, saling pengertian, bukan saling curiga dan saling menyakiti, “Indonesia tidak akan bubar karena perbedaan, tapi karena kita gagal merangkul perbedaan.”, menjaga dan Menghidupkan Empat Pilar Kebangsaan: Pancasila harus jadi way of life, bukan sekadar hafalan. UUD 1945 dipahami sebagai pedoman, bukan sekadar dokumen hukum. NKRI dijaga dengan komitmen, bukan hanya dipuja-puja. Bhinneka Tunggal Ika dihidupi dalam sikap, bukan hanya diucapkan.

NKRI ini tidak diwariskan untuk dirusak, NKRI ini diwariskan untuk diperjuangkan agar tetap hidup, bahkan lebih kuat di tangan kalian, generasi muda. Kalau hari ini kita malas belajar, malas berkontribusi, malas menjaga persatuan, maka kita sedang menghancurkan Indonesia dengan tangan kita sendiri.

Kasus terkini yang menggambarkan rendahnya kualitas sdm dalam dunia pendidikan indonesia

Lebih lanjut katanya, kita harus sadari, bahwa kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sangat berpengaruh terhadap karakter generasi bangsa selanjutnya. Bullying masih marak terjadi di sekolah hingga perguruan tinggi, bahkan memakan korban jiwa.

Lebih buruk lagi, kekerasan fisik dan verbal dari guru kepada siswa, atau sebaliknya, mencerminkan kegagalan membangun budaya pendidikan yang beradab. Cermin lemahnya karakter bangsa di level akar rumput. Rendahnya Prestasi Akademik di Tingkat Internasional. Skandal Ijazah Palsu dan Gelar Akademik Instan. Marak kasus pembuatan ijazah palsu atau praktik beli gelar dari universitas abal-abal. Contoh: Kasus universitas palsu di Jakarta (2024) yang menjual gelar sarjana hingga doktor dalam hitungan minggu. Fenomena ini menunjukkan sebagian masyarakat lebih mementingkan simbol pendidikan (ijazah) daripada proses dan kualitas pendidikan itu sendiri. Mentalitas instan lebih dihargai daripada kerja keras dan kompetensi.

Kasus Korupsi di Sektor Pendidikan. Kasus korupsi dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), program pembangunan sekolah, hingga dana beasiswa kerap terjadi. Contoh: Korupsi dana BOS di sejumlah daerah yang menyeret kepala sekolah dan pejabat pendidikan (2023–2024). Tak mengherankan, korupsi di dunia pendidikan berarti menghancurkan masa depan bangsa sejak akarnya. Bagaimana mau membangun generasi emas kalau gurunya sendiri merusak fondasinya?

Pasalnya, konten Digital Pendidikan yang Kurang Bermutu. Banyak siswa lebih tertarik pada konten hiburan kosong dibandingkan konten edukatif. Guru dan institusi pendidikan masih banyak yang gagap digital.

Mirisnya tidak mampu membuat pembelajaran online yang menarik, Tidak mampu membangun budaya belajar berbasis teknologi dengan efektif. Era digital adalah peluang, tapi karena kurang kesiapan SDM, malah jadi jebakan kemunduran.

Pendidikan adalah cermin dari karakter bangsa. Jika pendidikan kita rusak, maka masa depan bangsa ini rapuh. Apa Yang Harus Dilakukan? Generasi muda harus sadar, bahwa membangun kualitas diri bukan sekadar mengejar gelar, Tapi membangun integritas, kompetensi, kreativitas, dan moralitas, tutupnya.

Pendidikan bermutu menjadikan bangsa bermartabat. Pendidikan lemah maka bangsa mudah dijajah kembali. (ranu)

PERATURAN WAJIB : AnalisNews adalah Media Jurnalis Warga pertama di Indonesia yang menyediakan ruang bagi jurnalis warga untuk mempublikasi berita, "AnalisNews Hanya Menyajikan Berita Baik Mendukung Program Pemerintah, TNI, POLRI" Dilarang Berita Kasus, semua jurnalis warga wajib mengikuti kaidah Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Media Siber tanpa terkecuali, Dilarang melakukan pemerasan dan Dilarang berbuat kriminal sekecil apapun, username/ nama pengguna sesuai nama di KTP, jurnalis warga bertanggung jawab atas berita yang dibuatnya, Nama Jurnalis wajib tercantum dalam Box Redaksi, Tidak Sah JIKA Tidak Ada Dalam Box Redaksi, Dilarang meminta imbalan atas berita, kecuali Iklan berita Advertorial atau iklan Gambar/Banner dengan cara yang baik sesuai Prosedur