Mengawal Keamanan Bali, Antara Tugas Negara dan Kearifan Lokal, PECALANG
Analisnews.co.id-DENPASAR|Salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) yang menamakan diri mereka GRIB Jaya menuai kontroversi. Dalam sebuah pernyataan yang viral di media sosial.
Namun patut diketahui, ormas tersebut menyatakan komitmen mereka untuk menjaga keamanan Bali. Tetapi, pernyataan ini justru memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama para pecalang di Bali, yang merasa peran mereka sebagai penjaga keamanan adat di Bali, merasa terabaikan dan seperti dilangkahi.
Salah satu tokoh Pendidikan, Dr. Anak Agung Putu Sugiantiningsih S.IP.,M.AP.,( Akademisi Universitas Warmadewa) mengatakan penting dan perlu untuk dipahami bahwa menjaga keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah kewajiban seluruh warga negara tanpa terkecuali.
Oleh sebab itu, tidak hanya aparat resmi seperti TNI dan Polri, tapi juga masyarakat sipil, termasuk ormas, memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk ikut serta menciptakan suasana yang aman, damai, dan tertib di lingkungan mereka, terangnya.
Namun demikian, Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat. Pasalnya setiap daerah memiliki kekhasan dan sistem sosial yang telah mengakar kuat selama ratusan tahun.
Salah satunya Bali, menariknya, terdapat lembaga tradisional bernama pecalang yang memiliki fungsi khusus menjaga keamanan dan ketertiban, khususnya dalam konteks adat dan kegiatan keagamaan.
Secara harfiah, pecalang berasal dari kata “celang” yang berarti waspada atau berjaga. Pecalang adalah petugas keamanan adat yang dibentuk dan berada di bawah naungan desa adat atau desa pakraman di Bali, ungkapnya.
Lebih lanjut katanya, mereka bukan bagian dari aparat negara, tetapi merupakan bagian dari struktur adat yang sudah ada sejak zaman kerajaan Bali kuno. Sejarah mencatat bahwa pecalang sudah ada sejak era Kerajaan Gelgel dan digunakan oleh raja-raja Bali untuk menjaga ketertiban saat upacara kerajaan atau kegiatan keagamaan.
Maka dari itu, peran pecalang sangat spesifik dan strategis. Mereka ditugaskan untuk menjaga keamanan saat pelaksanaan upacara keagamaan seperti Nyepi, Galungan, dan Kuningan, serta berbagai kegiatan adat lainnya.
Tak mengherankan, jika mereka juga memiliki tanggung jawab mengatur lalu lintas dan menjaga ketertiban umum dalam lingkup adat. Dengan mengenakan pakaian adat khas berupa kain kotak hitam putih dan udeng, pecalang menjadi simbol harmonisasi antara kewaspadaan dan kebijaksanaan dalam budaya Bali.
Perlu dipahami, bahwa pecalang bukan sekadar petugas keamanan desa. Mereka adalah simbol taksu kekuatan spiritual dan budaya yang dihormati oleh masyarakat Bali.
Itulah sebabnya, dalam berbagai upacara dan kegiatan adat, pecalang telah terbukti menjadi garda terdepan dalam menjaga ketertiban tanpa mengandalkan kekerasan atau senjata, tetapi dengan wibawa adat dan pendekatan kultural, urainya.
Maka dari itu, ketika ormas luar menyampaikan niat untuk “menjaga” Bali, semestinya pernyataan tersebut dibarengi dengan pemahaman dan penghormatan terhadap struktur sosial-budaya setempat.
Bukan berarti mereka tidak boleh berperan, tapi ada batas etika dan kebijaksanaan lokal yang perlu dipertimbangkan.
Alih-alih tampil sebagai pihak luar yang seolah mengambil alih peran, lebih bijak jika mereka bersinergi dengan masyarakat lokal, termasuk dengan pecalang sebagai pilar keamanan adat.
Dalam konteks kebhinekaan, kerja sama antarelemen bangsa menjadi kunci utama menjaga keutuhan negeri. Setiap kelompok memiliki peran dan fungsi masing-masing. Niat baik pun bisa disalahartikan jika disampaikan atau dijalankan tanpa kepekaan terhadap tatanan sosial dan budaya yang ada.
Di sinilah pentingnya menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing secara proporsional dan harmonis.
Ormas yang memiliki niat baik menjaga keamanan seharusnya memahami konteks lokal dan menghindari tindakan yang berpotensi menimbulkan gesekan dengan elemen masyarakat lain.
Kerja sama yang tulus dalam semangat persatuan harus dikedepankan. Jangan sampai niat untuk menjaga malah menimbulkan konflik antar saudara sebangsa dan setanah air.
Kita semua sedang berjuang menjaga Indonesia tetap utuh, damai, dan bermartabat. Untuk itu, diperlukan keikhlasan untuk menempatkan diri sesuai peran masing-masing. Karena menjaga tidak selalu berarti berada di garis depan, tapi bisa juga berarti mendukung dari belakang, menghormati struktur yang sudah ada, dan ikut membangun dalam sunyi tanpa klaim sepihak, terangnya..
Sudah saatnya semua elemen bangsa, termasuk ormas, memahami bahwa keberagaman adalah kekuatan Indonesia. Dan dalam keberagaman itu, ada kearifan lokal yang harus dijaga, dihormati, dan dirawat bukan diseragamkan apalagi diabaikan, pungkas Dr.A.Agung Putu Sugiantiningsih S.IP.,M.AP.
Oleh karenanya dengan kebersamaan dalam keberagamanlah kita mampu menjaga rumah besar kita, yaitu Indonesia.( ranu)