Analisnews.co.id- Tulang Bawang Barat–Diskursus – berdialektika tentang aroma irama pilkada 2024, dengan dua kutub yang berbeda, menghasilkan fenomena calon tunggal – kotak kosong, hari ini mungkin masih dalam sebatas dunia medsos, belum menyentuh sampai pada wilayah empiris, mempertemukan dua kutub yang berbeda secara langsung dalam ruang terbuka.
Menguji ide, gagasan, pendukung pro – kontra, lahirnya fenomena calon tunggal – kotak kosong, membedah tentang pilkada, akan lebih menarik sebagai wahana pendidikan politik publik. Penulis akan menunggu jika itu ada tentu mewakili dari perwakilan kotak kosong.
Dalam kontek Tubaba, diprediksi misalkan, fenomena calon tunggal – kotak kosong, pilkada akan mengarah pada dua kutub tersebut. Artinya, sejarah kotak kosong 2018 akan terulang kembali di 2024, namun sepertinya dengan atmosfer suasana yang sudah berbeda.
Jika pilkada 2018 munculnya calon tunggal – kotak kosong, mungkin suasana kebatinan piskologis masyarakat, tidak begitu bergemuruh, cenderung cuek,apatis,masa bodoh, hingga calon tunggal, menang hingga mencapai 97%.
Kemenangan tersebut bukannya memberi satu pengertian bahwa, itu sebuah contohnya yang baik bagi pendidikan politik rakyat. Tapi Sebuah anomali demokrasi. Sebaliknya pilkada 2024, memiliki suasana yang sangat berbeda, dalam menyikapi fenomena calon tunggal – kotak kosong.
Reaksi publik begitu keras, dengan berbagai narasi kritik tajam lahirnya calon tunggal. Aktor – aktor ‘ pemain ‘ calon tunggal, sama persis dengan 2018 tidak berubah di 2024. Tentu ini menjadi menarik, apakah ingin mengulang kemenangan hingga 97 % di pilkada 2024 ini. Sepertinya mimpi itu setidaknya harus dibuang untuk mencapai kemenangan hingga 97 %.
Lahirnya fenomena “ relawan “ pendukung kotak kosong – coblos kotak kosong, yang begitu kuat belakangan ini, hingga mengganggu “ kenyamanan “ pendukung calon tunggal, setidaknya mengandung makna, bahwa sikap cuek, apatis, masa bodoh, tidak melekat lagi di pilkada 2024. Ruang kesadaran publik sudah bangkit dari tidur lamanya. Ini yang menjadi kekuatan bangkitnya kesadaran politik rakyat.
Bagi pendukung “ relawan” lahirnya calon tunggal bukan sebuah proses politik yang sehat. Namun membunuh ruang kebebasan publik, publik ingin menikmati adanya kompetisi banyak calon dalam pilkada. Bagi pendukung “ relawan “ kotak kosong – coblos kotak kosong, harus dilawan / dikalahkan, yang namanya calon tunggal, karena di dalamnya penuh nilai – nilai pembodohan.
Itulah mengapa penulis sekaligus bagian dari relawan, tidak begitu penting menanggapi berlebihan, apalagi risau dengan tuduhan, bahwa hadirnya para para relawan hanya mencari panggung politik (kejarfakta, 13/08/24). Tuduhan mencari panggung politik tuduhan asumsi yang sangat prematur. Tapi setidak penulis menghormati apa yang ditulis oleh “ adinda “ saya Dedi Priyono, sebagai diskursus yang menarik, menambah vitamin ruang kebebasan berpikir. Apalagi penulis ( Baca Dedi Priyono ) pendukung calon tunggal.
Tapi yang patut disayangkan tanpa disadari, dan mungkin juga disesalkan oleh rekan – rekan jurnalis lainnya, penulis memposisikan dirinya sebagai ketua PWI Tubaba. Jika mengatas namakan sebagai ketua PWI Tubaba, tentu penulis telah jatuh pada politik partisan, membawa nama organisasi ke dalam ruang yang sempit, politik dukung mendukung.
Tentu ini sangat “ tabu “ lembaga profesi yang harus dijaga marwahnya – netralitas, jatuh pada politik partisan. Hanya di Tubaba sepertinya ini baru terjadi, ketua PWI terlibat langsung dalam politik partisan ikut menjadi bagian mendukung calon tunggal. Lebih eloknya jika ingin menjadi bagian politik partisan, setidaknya harus melepaskan diri baju sebagai ketua PWI Tubaba.
Dalam kontek ini pilkada, Ketua PWI Tubaba, Dedi Priyono, sebagai organisasi profesi jurnalis, yang memiliki reputasi sejarah panjang, tidak mampu memahami tentang makna dari “ pilar keempat demokrasi “ yang melekat dari peran jurnalis. Jika pemaknaan ini saja tidak paham tentu kualitas diri sebagai ketua PWI bisa dipertanyakan.
Peran jurnalis ( baca PWI ) sebagai penjaga “ empat pilar demokrasi “ harus berdiri atau dalam posisi netral. Jika ada pro – kontra di wilayah publik, tentang sebuah isu yang “ mengancam “ kemunduran nilai – nilai demokrasi, harus berdiri paling depan menjaganya bukan ikut bagian di dalamnya.
Adinda saya, Dedi Priyono, harus banyak belajar lagi tentang makna “ empat pilar demokrasi “ agar tidak ditertawakan banyak orang termasuk ke sesama jurnalis. Perbedaan di wilayah publik apalagi “ politik “ PWI setidaknya mengambil peran sebagai fasilitator. Peran itu yang seharusnya dilakukannya.
( Penulis Ketua K3PP Tubaba )