Analisnews.co.id- Tulang Bawang Barat– Putusan MK Nomor 60/PUU – XXI /2024, menyangkut abang batas dukungan politik / partai politik, untuk pencalonan dalam pilkada (gubernur/bupat/walikota), minimal 10 persen ( gabungan partai politik ) suara dalam pemilu, setidaknya merupakan sebuah kado istimewa HUT Kemerdekaan RI Ke 79.
Kita akui bahwa selama ini publik memang selalu disajikan oleh keputusan MK yang kurang membahagiakan. Selama ini dalam ranah politik keputusan MK selalu berpihak pada kepentingan elit politik kekuasaan. Kasus keputusan MK yang kontroversial “ Gibran “ dalam pilpres mempertegas asumsi tersebut tentang MK. Namun kini setidaknya asumsi itu sedikit banyak berubah tentang MK.
Putusan MK Nomor 60/PUU – XXI / 2024, tentu membawa angin segar bagi kehidupan demokrasi khusus menyangkut pilkada. Betapa tidak suasana pilkada yang diselimuti oleh “ kekecewaan “ dengan fenomena calon tunggal – kotak kosong, dengan hadirnya keputusan MK, setidaknya merubah pandangan skeptis menjadi optimis.
Pilkada 2024 diprediksi akan muncul banyak calon setelah lahirnya keputusan MK. Calon yang tertutup tereliminasi oleh kekuatan tangan “ oligarki “ rezim calon tunggal, kini menjadi bangkit kembali dan memberi kesempatan yang terbuka luas para calon untuk ikut berkompetisi dalam pilkada. Setidaknya fenomena calon tunggal – kotak kosong akan meredup dengan sendirinya.
Salah satu dampak atau implikasi dari putusan MK, hemat penulis akan mengalami peta politik pilkada yang akan berubah total di dalam partai politik – parpol peserta pemilu. Artinya bahwa surat rekom, surat tugas, walaupun sudah diberikan ke calon tertentu, dengan keputusan MK akan banyak ditinjau kembali atau ditarik kembali.
Prediksi akan banyaknya bermunculan, surat rekom, surat tugas, akan dievalusi kembali, tentu sedikit banyak memberi dampak, setidaknya pada geliat aspirasi partisipasi rakyat semakin bergairah. Yang tadinya kecewa karena partai tidak akomodatif terhadap suara aspirasi, cenderung memilih calon yang hanya diputus sepihak oleh elit partai, setidaknya akan bangkit dan bergairah kembali. Kepercayaan kader simpatisan akan meningkat kembali.
Dalam rumus politik pilkada menyikapi putusan MK, khususnya kontek Kabupaten Tubaba, dampak itu mungkin diprediksi pada evalusi surat tugas Partai Gerindra, yang baru – baru ini diserahkan kepasangan NONa. Surat tugas dari Partai Gerindra ke NoNa masih sangat lemah. Selain itu keputusan “ surat tugas “ ke NoNa, hemat penulis, menimbul ketidak percayaan terhadap Gerindra khususnya pada kepemimpinan Yantoni.
Andaikan Gerindra Tubaba ( Yantoni ) tidak aspiratif diam memaknai putusan MK, akan bisa menimbulkan aksi “ demo “ atas oleh simpatisan dan kader. Ini setidaknya yang harus dimengerti oleh Yantoni sebagai ketua partai Gerindra. Diamnya Yantoni akan menimbulkan gejolak lebih luas lagi.
Banyak kader pengurus dibawah yang menyesalkan keputusan itu. Momentum putusan MK setidaknya akan menjadi bahan avaluatif kembali oleh pimpinan Gerindra Pusat – Wilayah atas surat tugas ke pasangan NoNa. Inilah prediksi penulis jika melihat putusan MK.Dengan putusan MK, Partai Gerindra akan mampu berdiri sendiri mencalonkan pasangannya. Gerindra Tubaba sudah memiliki suara hasil pileg 12% diatas ambang batas 10%.
Siapa yang diusung Gerindra jika “ surat tugas “ ke Nona ditarik kembali. Tentu jika mendengar suara arus bawah, akar rumput, grassroots, keinganan atau suara terbesar memang pilihannya hanya ke SJR. Tidak menutup kemungkinan ini berbalik untuk SJR. Bisa jadi pula pasangan SJR Yantoni menjadi kenyataan dalam Pilkada Tubaba . Politik memang penuh dinamika – dinamis.
Tapi tidak menutup kemungkinan ada pergeseran dukungan atau menarik diri pasangan NoNa jika melihat cakupan luasnya putusan MK. Artinya pula bukan hanya Partai Gerindra yang bisa menarik dukungan ke pasangan NoNa. Sekali lagi dengan putusan MK memberi ruang sempit lahirnya calon tunggal.
Ini yang harus dimaknai secara jeli atas putusan MK. Putusan MK setidaknya menjadi pelajaran bagi partai politik untuk lebih aspiratif batas suara publik. Selama ini partai politik cenderung dikuasai oleh elit politik seperti mengelolah perusahaan. Tinggal saatnya putusan MK mampu atau tidak partai politik berubah, yang tidak berubah sesungguhnya sedang mengubur kematiannya sendiri, ditinggalkan simpatisan dan kader.
( Ahmad Basri, S.IP SH. Ketua K3PP Tubaba )