CILEGON – Proyek renovasi ruang kelas di SMP Negeri 11 Cilegon, Kelurahan Lebak Denok, Kecamatan Citangkil, kembali menjadi sorotan. Di tengah gencarnya kebijakan efisiensi anggaran, hasil lelang justru menampilkan ironi: pemenang proyek adalah peserta dengan penawaran tertinggi.
Berdasarkan data sistem pengadaan pemerintah, delapan peserta mengikuti lelang dengan nilai penawaran berkisar antara Rp1,13 miliar hingga Rp1,28 miliar. Dari daftar tersebut, penawaran terendah senilai Rp1,13 miliar, sementara penawaran tertinggi datang dari PT. Bumi Sampiran senilai Rp1,28 miliar. Ironisnya, justru penawar dengan nilai tertinggi yang ditetapkan sebagai pemenang. Selisih nilainya dengan penawar terendah mencapai sekitar Rp150 juta.
Padahal, mekanisme tender pemerintah semestinya bertujuan mendapatkan harga paling efisien dengan mutu terbaik, bukan sekadar memilih berdasarkan formalitas administrasi. Keputusan ini menimbulkan dugaan bahwa proses evaluasi dan pertimbangan teknis tidak dilakukan secara objektif.
Lebih memprihatinkan lagi, hasil pantauan lapangan menunjukkan lemahnya pengawasan. Pekerja di lokasi terlihat minim penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), sementara spesifikasi material yang digunakan terindikasi tidak sesuai dengan standar proyek pemerintah. Sejumlah pekerjaan terkesan dilakukan tanpa pengendalian kualitas yang ketat.
Kondisi tersebut memperkuat dugaan bahwa prinsip efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi hanya sebatas jargon. Ketika proyek dengan nilai tertinggi bisa menang di tengah situasi efisiensi anggaran, maka makna kompetisi sehat dalam pengadaan publik menjadi kabur.
Publik kini menunggu respons tegas dari instansi teknis dan aparat pengawasan di lingkungan Pemerintah Kota Cilegon. Evaluasi terhadap proses lelang dan pelaksanaan proyek dinilai mendesak dilakukan untuk memastikan tidak ada praktik penyimpangan dan potensi kerugian negara. Publik berharap agar pihak Inspektorat Kota Cilegon maupun Unit Layanan Pengadaan (ULP) segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses tender dan pelaksanaan proyek di SMPN 11 Cilegon. Selain itu, diperlukan peninjauan kembali terhadap mekanisme penilaian teknis dan administrasi agar setiap proyek benar-benar berpihak pada prinsip efisiensi, transparansi, dan kualitas hasil pekerjaan. Jangan sampai semangat efisiensi hanya jadi jargon walikota Cilegon, sementara praktik di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya
Renovasi SMPN 11 Cilegon kini menjadi potret nyata bagaimana ironi efisiensi bisa lahir dari sistem yang seharusnya menjunjung transparansi, namun justru melahirkan tanda tanya.



Komentar