(Seri Tahukah Anda Tradisi-tradisi di AlZaytun?)
Oleh Ali Aminulloh
Ketika “pesantren” disebut, bayangan tentang santri bersarung, berbaju koko, dan berpeci putih seringkali langsung memenuhi benak. Namun, di Mahad Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat, narasi visual itu seolah diputarbalikkan. Lembaga pendidikan ini menghadirkan lanskap busana yang berbeda: elegan, modern, dan penuh percaya diri. Di sini, bukan hanya saat salat Jumat, Idulfitri, atau peringatan hari besar, tetapi dalam aktivitas sehari-hari—mulai dari belajar di kelas, menerima tamu, hingga bertugas di berbagai acara—pelajar dan civitas akademika akrab dengan jas, dasi, dan songkok khas Al-Zaytun. Pemandangan ini menantang stereotip dan mengundang pertanyaan: Apa makna di balik pilihan busana yang tak lazim ini?
Busana sebagai Cerminan Visi: Elegansi, Profesionalisme, dan Kepemimpinan
Tradisi berbusana formal di Al-Zaytun jauh melampaui sekadar preferensi estetika. Ini adalah refleksi mendalam dari nilai-nilai yang ingin ditanamkan sejak dini. Mengenakan jas dan dasi tidak hanya menumbuhkan kerapian dan elegansi, tetapi juga secara signifikan membangun rasa percaya diri, profesionalisme, dan kesiapan untuk berinteraksi dalam ruang sosial yang lebih luas. Dalam konteks psikologi sosial, teori enclothed cognition menjelaskan bagaimana pakaian yang kita kenakan dapat memengaruhi proses kognitif, suasana hati, dan perilaku kita [Adam & Galinsky, 2012]. Dengan mengenakan pakaian formal, individu cenderung merasa lebih berkuasa, kompeten, dan etis, yang sejalan dengan pembentukan karakter kepemimpinan di Al-Zaytun.
Melengkapi busana formal ini, para santri mengenakan songkok khas Al-Zaytun—berukuran tinggi, sekitar 11 cm, dengan desain unik yang hanya tersedia di toko resmi lembaga. Songkok ini, sebagaimana diungkapkan oleh Syaykh Panji Gumilang, sengaja dirancang untuk mengingatkan pada gaya penuh wibawa Bung Karno, simbol nasionalisme dan kepemimpinan yang kuat. Pilihan ini menegaskan bahwa setiap detail busana di Al-Zaytun memiliki makna simbolis yang terhubung dengan cita-cita besar pembentukan karakter bangsa.
Rekonstruksi Identitas: Melampaui Simbolisme Sarung dan Koko
Ketika Al-Zaytun dikritik karena “tidak seperti pesantren” karena pilihan busananya, lembaga ini justru menawarkan refleksi historis dan kultural yang lebih mendalam terkait busana Muslim. Pertanyaan fundamental pun muncul: Apakah sarung dan koko adalah identitas tunggal Islam?
Secara historis, sarung bukanlah busana yang berasal dari tradisi Islam murni. Ia justru berasal dari Yaman dengan nama futah atau izar, dan menyebar ke Nusantara melalui pedagang Gujarat pada abad ke-14 atau ke-15 [Onghokham, 2005]. Sarung juga digunakan oleh masyarakat Hindu Bali dalam upacara keagamaan, serta menjadi bagian integral dari pakaian adat masyarakat Bugis, Madura, dan Kejawen.
Demikian pula dengan baju koko, yang sejatinya merupakan warisan budaya Tionghoa. Dikenal sebagai tu-khim atau changshan, nama “koko” sendiri berasal dari kebiasaan masyarakat Betawi yang memanggil pria Tionghoa dengan sebutan “engkoh-engkoh” [Abdullah, 2006]. Meskipun ada upaya untuk mengaitkannya dengan modifikasi baju Surjan Jawa oleh Sunan Kalijaga menjadi “baju takwa,” klaim bahwa sarung dan koko adalah busana khas Islam tidak sepenuhnya dapat dibuktikan secara historis universal.
Al-Zaytun, melalui pilihan busananya, secara implisit menantang esensialisme simbolik dalam beragama. Mereka memilih untuk tidak terjebak pada klaim-klaim artifisial, melainkan membangun kesadaran akan substansi: bahwa pakaian adalah ekspresi dari nilai dan martabat, bukan sekadar label keislaman semu. Pendekatan ini selaras dengan prinsip-prinsip fiqh yang memprioritaskan esensi (makna) di atas bentuk (simbol), selama tidak bertentangan dengan syariat.

Busana sebagai Manifesto Kebangsaan dan Kesiapan Global
Sebagai pusat pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai toleransi, perdamaian, dan budaya keindonesiaan, Al-Zaytun secara konsisten mendorong santri dan civitasnya untuk tampil dengan busana yang merefleksikan identitas nasional dan kesiapan global. Jas, dasi, dan songkok, dalam konteks Indonesia, bukan hanya simbol kesopanan, tetapi juga warisan budaya kebangsaan. Kita dapat melihatnya pada para pemimpin bangsa saat pelantikan, atau para wakil rakyat yang disumpah jabatannya—mereka berbusana jas, dasi, dan songkok. Di kancah internasional, busana formal ini telah menjadi norma universal yang melintasi batas-batas budaya dan agama, merepresentasikan profesionalisme dan kredibilitas [Molnar & Pardew, 2018].
Dengan mengenakan busana tersebut secara konsisten, Al-Zaytun tidak hanya melestarikan simbol nasional, tetapi juga menanamkan sikap profesional, disiplin, dan berwibawa. Pakaian yang dikenakan menjadi bagian integral dari pendidikan karakter dan nilai yang tertanam secara utuh—bahwa menjadi Muslim yang baik juga berarti menjadi warga negara yang anggun, beradab, dan siap hadir di forum mana pun dengan penuh percaya diri dan membawa nama baik bangsa. Ini adalah pernyataan bahwa keberislaman yang mendalam dapat beriringan dengan modernitas dan komitmen kebangsaan.

Epilog: Mewujudkan Simbol dalam Realita
Apa yang ditanamkan Al-Zaytun melalui pilihan busananya bukan sekadar masalah gaya atau selera semata. Ini adalah pernyataan nilai yang mendalam. Sebuah pilihan untuk tidak terpaku pada simbol-simbol lahiriah, melainkan menggali kedalaman makna budaya, sejarah, dan relevansinya di era modern. Di tengah dunia yang seringkali terjebak pada formalitas kosong atau dikotomi yang sempit, jas dan dasi di Al-Zaytun menjadi simbol keberanian untuk tampil beda—berwibawa namun tetap membumi, modern namun tetap menjunjung tinggi akar kebangsaan.
Melalui busana elegan dan penuh makna ini, para santri dibentuk bukan hanya untuk menguasai ilmu, tetapi juga untuk menjadi pemimpin masa depan yang percaya diri, toleran, dan senantiasa menjunjung tinggi martabat manusia. Karena sesungguhnya, kemuliaan sejati tak hanya terpancar dari lisan dan perbuatan, tetapi juga dari kesadaran dan pilihan kita untuk menampilkan diri di hadapan dunia—sebuah pesan bahwa substansi selalu lebih agung dari sekadar simbol.



Komentar