Home / TERKINI / Transformasi Pendidikan Al-Zaytun: Membangun Manusia Unggul dengan AI Menuju Indonesia Modern di Abad XXI

Transformasi Pendidikan Al-Zaytun: Membangun Manusia Unggul dengan AI Menuju Indonesia Modern di Abad XXI

Indramayu, 7 Juli 2025 – Ribuan peserta dari berbagai elemen pendidikan Ma’had Al-Zaytun berkumpul dalam sesi pelatihan keenam yang membahas “Transformasi Revolusioner Pendidikan Berasrama demi Terwujudnya Indonesia Modern di Abad XXI dan usia 100 tahun Kemerdekaan.” Acara yang diselenggarakan pada Minggu pagi (6/7/2025) ini menegaskan komitmen Al-Zaytun dalam menyongsong visi Indonesia Emas 2045 dengan pendekatan pendidikan yang inovatif dan relevan.
Dalam sambutan pembuka, Dr. Irvan Iswandi, SE. MT., selaku Panitia, menyampaikan rasa syukur atas terselenggaranya kegiatan ini sebagai bagian dari elaborasi gagasan besar Syaykh Al-Zaytun. Dengan partisipasi lebih dari 2.500 pelaku didik, mulai dari dosen hingga unit pendukung, forum ini memperkenalkan kurikulum inovatif L-STEAM, yang menempatkan aspek “Law” sebagai fondasi moral dalam membentuk generasi bangsa berkarakter, berteknologi, dan beradab. Pekan keenam pelatihan ini menghadirkan Prof. Dr. Yeni Herdiyeni, S.Si., M.Kom., Guru Besar Artificial Intelligence (AI) dari IPB University, yang membawakan sub-tema “AI untuk Pendidikan.”
Prof. Yeni membuka paparannya dengan narasi reflektif tentang posisi AI dalam kehidupan manusia, menegaskan bahwa kecerdasan buatan bukanlah hal yang harus ditakuti, melainkan disambut sebagai “sahabat.” Ia menekankan pentingnya menempatkan kecerdasan manusia (Human Intelligence) di atas kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), mengajak para pendidik untuk memaknai AI sebagai peluang untuk meningkatkan sistem pembelajaran, bukan menggantikan peran guru. “AI harus berfungsi sebagai penguat daya pikir manusia, bukan pemegang kendali,” ujar Prof. Yeni. Menurutnya, komunikasi adalah kunci, dengan teknologi seperti ChatGPT, Grammarly, dan Google Assistant yang bekerja optimal karena mampu meniru interaksi manusia. Kemampuan AI berbicara, menulis, dan memahami konteks didasarkan pada cara manusia berpikir dan bertindak.

Prof. Yeni menjelaskan bahwa AI adalah cerminan dari cara kerja otak manusia, mulai dari memori jangka panjang hingga sistem penglihatan (visual cortex). Ia mencontohkan Google Lens yang meniru cara mata manusia mengenali objek secara parsial dan menyatukannya. Demikian pula, algoritma pemrosesan bahasa seperti Grammarly dan Duolingo dibangun berdasarkan pemahaman manusia terhadap tata bahasa dan interaksi sosial. “Teknologi yang ada saat ini, meskipun canggih, hanyalah turunan dari kecerdasan biologis,” paparnya. Bahkan sistem kekebalan tubuh manusia telah menginspirasi pengembangan immune algorithm. AI, pada intinya, adalah cara lain bagi manusia untuk memahami dirinya sendiri dan menjadikannya alat untuk membantu peradaban.
Melalui contoh sederhana deret bilangan, Prof. Yeni mengajak peserta memahami tiga lapisan informasi: data, informasi, dan knowledge. Ia menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer data, tetapi pembangunan pola pikir yang mampu menyimpulkan, mengantisipasi, dan menciptakan kebijaksanaan (wisdom). Mengacu pada Taksonomi Bloom, ia menekankan bahwa proses belajar harus mendorong pemikiran tingkat tinggi: analisis, evaluasi, dan kreasi. Inilah esensi pendidikan sejati.
Lebih lanjut, Prof. Yeni menegaskan bahwa keterampilan berpikir algoritmik jauh lebih penting daripada kemampuan koding itu sendiri. Ia memperkenalkan empat keterampilan utama dalam computational thinking: Dekomposisi (memecah masalah kompleks), Abstraksi (menyaring informasi penting), Pengenalan Pola (mengenali pola untuk prediksi), dan Berpikir Algoritmik (menyusun instruksi terstruktur). “Teknologi hanya akan bekerja jika manusia mampu memberikan instruksi yang benar,” tegasnya. Oleh karena itu, pendidikan harus fokus mengasah cara berpikir, bukan hanya kemampuan teknis.
Prof. Yeni juga memaparkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan AI, terutama dalam bidang bahasa lokal. Beberapa bahasa daerah bahkan telah digunakan dalam sistem global seperti Google Translate. Ia mendorong Indonesia untuk tidak hanya menjadi pengguna AI, tetapi juga pengembang (builder) teknologi yang sesuai dengan karakter lokal. Sebagai contoh, IPB University telah membangun ekosistem AI untuk pertanian, mulai dari deteksi penyakit tanaman hingga prediksi produksi berbasis data cuaca dan satelit. Model inklusif semacam ini menunjukkan bahwa teknologi dapat menjadi mitra bagi petani kecil sekalipun.
Prof. Yeni menutup sesi dengan ajakan moral: AI harus memperkuat manusia, bukan menggantikannya. Pendidikan sejati adalah proses membangun akal, memperkuat hati, dan menjadikan manusia mampu berpikir jernih di tengah gempuran teknologi. “Di era digital, pendidikan yang mampu menyentuh nurani adalah yang memanusiakan manusia,” pungkasnya. Prof. Yeni menekankan bahwa bangsa yang mampu memposisikan manusia sebagai pusat dari teknologi akan memiliki masa depan peradaban yang lebih bijaksana, mandiri, dan berdaya saing tinggi. Dengan demikian, Al-Zaytun berkomitmen untuk membangun pendidikan yang tak hanya mengajar, tetapi juga mendidik, demi Indonesia yang lebih beradab dan abadi.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *