Analisnews Com: Pangkalpinang Bangka Belitung~~Wartawan dalam setiap tugas liputan dituntut untuk bisa membuat berita dalam sebuah peristiwa yang diliputnya. Dalam menjalankan tugasnya, wartawan dibatasi oleh ketentuan hukum seperti Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 dan berpegang pada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah supaya wartawan bertanggung jawab dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan konsistensi dan profesionalisme.
Wartawan professional, akan menimbulkan sikap menghormati martabat individual dan hak-hak pribadi dan personal masyarakat dalam peliputan berita. Namun sayangnya, dalam praktik di lapangan, sering kita jumpai wartawan yang abai dengan aturan-aturan hukum maupun prinsip-prinsip profesionalisme. Akibatnya, banyak wartawan terjerat kasus hukum.
Jika seorang wartawan melakukan kekeliruan dalam pemberitaan, Wartawan harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca.
Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu. Bila hak jawab ini tidak dilayani oleh pers, maka perusahaan pers dapat dipidana.
Soal pemberitaan yang salah, merujuk pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) menyatakan: “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.”
Di dalam dunia pers dikenal 2 (dua) istilah yakni: hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”).
Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu.
Apa langkah yang dapat ditempuh akibat pemberitaan pers yang merugikan? Langkah yang dapat diakukan adalah membuat pengaduan di Dewan Pers. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen
Dewan Pers mendefinisikan pengaduan sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang menyampaikan keberatan atas karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers.
Salah satu fungsi Dewan Pers yaitu memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Dengan demikian, bahwa korban fitnah dapat menjadi pengadu di Dewan Pers untuk mengajukan keberatan atas karya jurnalistik dari wartawan tersebut.
Bila Hak Jawab Tak Membuahkan Hasil
Apabila Hak Jawab dan Pengaduan ke Dewan Pers tidak juga membuahkan hasil, maka UU Pers juga mengatur ketentuan pidana dalam Pasal 5 jo. Pasal 18 ayat (2) UU Pers sebagai berikut:
Pasal 5 UU Pers:
(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.
(3) Pers wajib melayani Hak Koreksi.
Pasal 18 ayat (2) UU Pers:
“Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers;
Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers.
Kebebasan menyampaikan pendapat melalui karya jurnalistik menemukan tantangan setelah UU ITE lahir. Undang-Undang ini dapat menjerat siapa saja yang dilaporkan mencemarkan nama baik, termasuk wartawan yang bertugas menjalankan profesinya. Sejumlah jurnalis harus berhadapan dengan proses hukum akibat karya jurnalistik mereka dilaporkan berisi pencemaran nama baik.
Bahwa pada dasarnya dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 8 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.