TERKINI
Beranda / TERKINI / Kepolisian Sebagai Aparat Penegak Hukum Memiliki Mandat Utama Menegakkan Hukum dan Memberikan Perlindungan Kepada Masyarakat

Kepolisian Sebagai Aparat Penegak Hukum Memiliki Mandat Utama Menegakkan Hukum dan Memberikan Perlindungan Kepada Masyarakat

Pandangan Ilmiah “Kinerja Kepolisian dalam Pandangan Pemuda Menurut Ahli” disertai rujukan konsep dan pandangan para ahli dari bidang sosiologi, kriminologi, dan ilmu kepolisian:

Kepolisian sebagai aparat penegak hukum memiliki mandat utama untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan menegakkan hukum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat. Namun, tugas besar ini tidak bisa hanya dibebankan kepada institusi Polri semata. Dalam konteks sosial-politik yang demokratis, sinergi antara masyarakat—terutama pemuda—dan kepolisian menjadi kunci utama terciptanya stabilitas keamanan yang berkeadilan dan partisipatif.

Pemuda, sebagai kelompok dengan potensi intelektual, moral, dan energi sosial yang tinggi, memiliki posisi strategis untuk menjadi mitra kritis sekaligus mitra kolaboratif bagi institusi kepolisian.

Kinerja Kepolisian dalam Pandangan Pemuda Menurut Ahli

1. Perspektif Kepercayaan dan Legitimasi Sosial (Tom R. Tyler, 1990)

Personil Polsek kapuas tengah rutin imbauan larangan karhutla kepada masyarakat.

Menurut Tom R. Tyler dalam teorinya tentang Procedural Justice and Legitimacy, kinerja kepolisian tidak hanya diukur dari keberhasilan menegakkan hukum, tetapi juga dari bagaimana aparat memperlakukan masyarakat secara adil dan bermartabat.
• Dalam pandangan pemuda, terutama generasi digital yang kritis terhadap otoritas, kinerja Polri dianggap baik jika penegakan hukumnya tidak diskriminatif dan transparan.
• Tyler menekankan bahwa kepercayaan (trust) menjadi indikator utama kinerja kepolisian. Jika pemuda merasa dilibatkan dan diperlakukan setara, maka legitimasi Polri meningkat; sebaliknya, jika aparat bersikap represif, maka tingkat kepercayaan publik—khususnya pemuda—akan menurun drastis.

2. Perspektif Sosiologi Pemuda (Karl Mannheim, 1952)

Karl Mannheim dalam The Problem of Generations menjelaskan bahwa pemuda memiliki karakter kritis terhadap struktur kekuasaan dan cenderung menjadi agent of change.

Dalam konteks kepolisian:
• Pemuda menilai kinerja Polri tidak semata dari kacamata formal hukum, tetapi juga dari nilai-nilai keadilan sosial dan etika kekuasaan.
• Generasi muda cenderung mempertanyakan integritas moral polisi, bukan hanya efektivitas operasionalnya.
• Karena itu, bagi pemuda, kinerja kepolisian baru dianggap optimal jika selaras dengan prinsip HAM, anti-korupsi, dan berpihak pada rakyat kecil.

Mannheim: “The youth are not passive observers of institutions—they are active critics and catalysts of reform.”

Piket polsek Kapuas Tengah rutin Patroli ke pasar harian Pujon desa Pujon.

3. Perspektif Kriminologi Kritis (Jock Young, 1999)

Jock Young, tokoh Left Realism dalam kriminologi, berpendapat bahwa hubungan polisi dan masyarakat tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial dan ketimpangan kekuasaan.
• Pemuda sering melihat polisi sebagai representasi negara yang kadang tidak netral terhadap kelas sosial.
• Menurut Young, citra polisi di mata pemuda akan membaik jika polisi turun ke komunitas, memahami realitas sosial, dan tidak hanya fokus pada penindakan hukum semata.
• Kinerja kepolisian bagi pemuda dinilai tinggi jika mampu menciptakan rasa aman tanpa menciptakan ketakutan.

Jock Young (1999): “Policing must be about understanding communities, not controlling them.”

4. Perspektif Ilmu Kepolisian Indonesia (Prof. Bambang Widodo Umar, 2010)

Dalam kajiannya tentang Reformasi Polri dan Polmas (Pemolisian Masyarakat), Prof. Bambang Widodo Umar menekankan bahwa keberhasilan kinerja kepolisian di era reformasi sangat bergantung pada kemampuan membangun kemitraan dengan masyarakat, khususnya generasi muda.
• Menurutnya, pemuda merupakan elemen strategis dalam community policing karena memiliki energi, kemampuan digital, dan kesadaran sosial tinggi.
• Namun, ia juga mencatat bahwa sebagian pemuda menilai Polri masih kurang transparan dan belum sepenuhnya profesional.
• Maka, tantangan utama kinerja kepolisian di mata pemuda adalah transformasi dari budaya kekuasaan ke budaya pelayanan publik.

Imbauan kantibmas kepada warga Rutin di lakukan Piket Polsek Kapuas Tengah.

Bambang Widodo Umar: “Polri harus hadir sebagai pelayan masyarakat, bukan sekadar penegak hukum; di situlah legitimasi dan kepercayaan pemuda dibangun.”

5. Perspektif Psikologi Sosial (Albert Bandura, 1986 – Social Learning Theory)

Pemuda belajar dan membentuk persepsinya terhadap kepolisian berdasarkan pengalaman sosial dan media.
• Jika mereka sering melihat praktik kekerasan, korupsi, atau ketidakadilan polisi di media sosial, maka persepsi negatif terbentuk secara kolektif.
• Sebaliknya, jika polisi menampilkan role model yang humanis dan profesional, pemuda akan meniru dan mempercayai institusi tersebut.
• Artinya, kinerja kepolisian dalam pandangan pemuda tidak hanya hasil dari fakta lapangan, tapi juga dari pembentukan citra sosial yang berulang.

Kesimpulan Umum

Dari berbagai pandangan ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja kepolisian dalam pandangan pemuda sangat ditentukan oleh tiga hal utama:
1. Keadilan dan Transparansi Proses (Tyler, 1990) – Pemuda menilai kinerja bukan dari hasil, tapi dari proses yang adil.
2. Etika Kekuasaan dan Keadilan Sosial (Mannheim, Jock Young) – Polisi harus berpihak pada rakyat, bukan pada kekuasaan.
3. Kemitraan dan Humanisasi (Bambang Widodo Umar) – Pemuda menginginkan polisi yang humanis, adaptif, dan terbuka terhadap kolaborasi sosial.

Dengan demikian, kinerja Polri di mata pemuda bukan hanya persoalan angka kejahatan yang menurun, melainkan bagaimana aparat menegakkan hukum dengan hati nurani, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat.

Edger Josua Silalahi
Sekretaris Jenderal BARAK 106 (Barisan Rakyat Pancasila 1 Juni)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *