Blora – Analisnews : Siswi SMKN 1 Blora jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) yang melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Dinas Kominfo Blora, beziarah ke makam Pahlawan Nasional RA Kartini di Desa Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Jumat (11/4/2025).
Kunjungan keempat Siswa SMKN I Blora Rahmaningrum Hidayah, Refany Swassyari Azzahra, Sagita Ayu Novianti dan Widia Irawati, disambut ramah oleh petugas makam ageng, saat memasuki pintu gerbang.
“Alhamdulillah, ini pertama kali, kami ziarah ke makam Pahlawan Nasional RA. Kartini. Kegiatan ziarah kami lakukan sebagai wujud penghormatan kepada RA Kartini yang telah berjasa besar dalam perjuangan emansipasi wanita di Indonesia. Sekaligus penyemangat kami agar tetap terus berkarya meneruskan cita-cita beliau,” kata Rahmaningrum Hidayah, yang diamini tiga temannya.
Selain ziarah, mereka juga membuat dokumentasi video dan foto untuk karya PKL sesuai dengan jurusannya.
“Ini berkah bagi kami, berziarah sekaligus buat dokumentasi. Selama ini kami hanya membaca sejarah RA Kartini, dan sekarang terkabul bisa ziarah ke makam beliau, ini karena kami PKL di Dinas Kominfo Blora, dan menjadi kenangan yang nanti tidak akan saya lupakan,” kata Widia Irawati.
Sementara itu Teguh, pembimbing siswa PKL Dinas Kominfo Blora menyampaikan, siswa tersebut akan selesai PKL pada 17 April 2025.
Sekalian kita rangkaikan saja dengan Peringatan Hari Kartini, yang jatuh pada 21 April 2025. Jadi mereka diedukasi lebih awal untuk ziarah dan membat konten di makam RA Kartini.
“Ini bagian edukasi, ziarah ke makam RA Kartini dapat menjadi momentum untuk mengenang perjuangannya dan meneladani nilai-nilai yang diamanatkannya. Nilai-nilai tersebut dapat menginspirasi untuk memperjuangkan kesetaraan gender dan kemajuan bangsa,” jelasnya.
Kartini lahir pada 21 April 1879, atau 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808 di Mayong afdeling (kini Jepara). RA Kartini berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa di Jepara. Dimana diketahui Ayah RA. KAartini bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah seorang bupati.
Pada tahun 1885, sebagai salah seorang anak pejabat tinggi pemerintah, RA Kartini kemudian diizinkan mengikuti pendidikan sekolah dasar eropa atau Europesche Lagere School (ELS).
Di Europesche Lagere School (ELS), Kartini belajar dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Kemampuan bahasanya makin kuat karena rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda. Kartini juga belajar bercakap dengan bahasa Belanda sambil bermain dan menerima tamu bangsa Belanda yang datang ke Jepara.
Meskipun mendapat perlakuan diskriminatif dari siswa dan guru dari Belanda, Kartini justru semangat memperoleh pengetahuan lebih banyak dan berprestasi. Dikutip dari buku Sisi Lain Kartini, ia menceritakan dirinya tengah belajar pemikiran pejuang wanita dari India Pundita Ramambai pada temannya, Nyonya Nelly Van Kol.
Setelah lulus ELS, Kartini dilarang ayahnya melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Saat itu, tradisi bangsawan mewajibkan anak usia 12 tahun yang sudah dianggap dewasa untuk dipingit. Saat dipingit, anak perempuan tidak boleh keluar rumah, termasuk ke sekolah, karena harus menyiapkan diri untuk menikah dan menjadi ibu rumah tangga.
Karena itu, Kartini juga tidak mendapat izin untuk lanjut sekolah di Belanda seperti tawaran orangtua Letsy, temannya. Ia lalu dipaksa belajar aturan putri bangsawan, seperti berbicara dengan suara halus dan lirih, berjalan setapak dan menundukkan kepala jika anggota keluarga yang lebih tua lewat.
Kartini yang dipingit mengesampingkan kekecewaannya tidak lanjut sekolah dengan membaca dan mencatat. Sejumlah catatannya termasuk pandangan hidup yang bisa dicontoh, jiwa dan pemikiran besar, dan perilaku yang baik.
Surat lamaran suaminya diterima Kartini dengan syarat sang Bupati Rembang menyetujui dan mendukung gagasan dan cita-cita Kartini. Kartini juga harus diizinkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri bangsawan di Rembang.
Di tengah masa tersebut, ia memutuskan menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat pada 8 November 1903. Dan mengalihkan beasiswa studi ke Batavia yang ia dan Roekmini dapat tidak lama setelahnya ke orang lain. Setelah melahirkan anaknya pada 13 September 1903. Pada 17 September 1903, Kartini wafat dalam usia 25 tahun.
Sebelum wafat, Kartini mencoba berbagai langkah agar dirinya dan perempuan di sekitar bisa maju dengan pendidikan.
Dalam sidang parlemen Ratu Wilhelmina, memproklamasikan politik etis yang mengharuskan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat jajahan di Hindia Belanda. Gagasan emansipasi dan cita-cita Kartini untuk maju dengan pendidikan mulai jadi perhatian pemerintah Hindia Belanda.
Pada 8 Agustus, Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan, dan Agama J.H. Abendanon mengunjungi Jepara. Ia menyampaikan, ada rencana pendirian sekolah asrama atau kostchool untuk gadis bangsawan. Kartini mendukung rencana ini dengan harapan perempuan menyadari hak mereka selama ini terampas.
Abendanon terkesan dengan penjelasan Kartini yang menyarankan pembukaan pendidikan kejuruan agar perempuan terampil dan mandiri, tidak bergantung kepada laki-laki. Tetapi, sebagian besar bupati menolak surat edaran Abendanon tentang kostschool dengan alasan aturan adat bangsawan tidak mengizinkan anak perempuan dididik di luar.
Kelak saat diundang ke Batavia oleh Abendanon, Kartini ditawari Direktur HBS Batavia Nona Van Loon untuk melanjutkan studi di sekolahnya. Saat itu, ayah Kartini juga mengizinkannya untuk melanjutkan studi menjadi guru.
Kendati pendirian kotschol terhambat, keinginan Kartini atas pendidikan demi menyamakan derajat laki-laki dan perempuan sampai di telinga anggota parlemen Belanda, Van Kol. Ia lalu menawari Kartini untuk sekolah di Belanda bersama adiknya Roekmini dengan biaya pemerintah.
Tetapi atas bujukan dan tekanan orang bumiputra dan keluarga Abendanon, ia urung ke Belanda.
Kartini dan adiknya lalu memutuskan membuka sekolah untuk anak-anak gadis pada Juni 1903. Sekolah Kartini menekankan pembinaan budi pekerti dan karakter anak sehingga suasana sekolah diciptakan seperti suasana di rumah.
Sekolah berlokasi di pendopo kabupaten. Kegiatan belajar mengajar berlangsung empat hari seminggu, Senin-Kamis. Murid belajar 4,5 jam sehari, pukul 8 pagi-12.30 siang. Kartini banyak menghabiskan waktu memikirkan pengelolaan sekolah barunya karena minat masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya bertambah.
Sekolah yang sudah dirintis Kartini terkendala setelah ia wafat. Keluarga Abendanon dan Nyonya Van Deventer kelak membangun beberapa sekolah nama Sekolah Kartini. Seiring waktu, sekolah Kartini berkembang ke kota-kota lain, dengan program pendidikan yang mendukung keterampilan siswa.
Ziarah keempat Siswa SMKN I Blora tersebut, untuk mengenang jasa pahlawan nasional yang berjuang untuk emansipasi wanita menjelang peringatan Hari Kartini pada 21 April 2025.